Sejak buku ini naik cetak, pre order-nya laris dengan cepat di pasaran. Bayangkan saja dalam waktu 2 hari, pre order untuk 500 eksemplar buku ludes sebelum sampai ke toko buku. Sekeren apa memangnya buku Asbunayah karya Pidi Baiq itu?

(Baca juga: 500 Buku PO Asbunayah Karya Pidi Baiq Ludes dalam 2 Hari)

Bukan kekerenan apa yang harus kamu tanyakan, tapi sehebat apa sebetulnya isi buku Asbunayah itu?

Sejak halaman sampul (cover)-nya dirilis saja, sudah banyak tanggapan dari warganet yang bertanya-tanya: itu otak atau kerupuk?

Sampai saat ini pun, sepertinya Surayah belum membuat konfirmasi, ya, terkait hal itu. Akan tetapi, setelah membaca buku di dalamnya, bolehlah analisis semacam ini dibuat. Analisis yang boleh kamu percaya, boleh juga tidak. Silakan. Bebas saja. Disesuaikan dengan seleramu, ya.

Desain tanpa judul (8)

Asbunayah karya Pidi Baiq (image from instagram.com/thepanasdalam_publishing)

Jadi mengenai otak atau kerupuk, jawabannya bisa keduanya sekaligus. Mengapa?

Otak melambangkan pemikiran, tempat imajinasi dibentuk. Dengan analisis ilmu cocoklogi, buku Asbunayah ini berisi segala pemikiran Surayah. Nah, maka begini, sudah cocok sekali, bukan kalau diartikan sebagai otak?

Lantas kemudian, mengapa kerupuk juga dibenarkan? Dan apa pula makna kerupuk sampai dijadikan sebagai gambar halaman sampul?

Surayah itu, selalu, ya. Selalu punya gaya tersendiri, selalu punya maksud yang barangkali, hanya ia yang bisa memahami. Akan tetapi, dari hasil membacanya, kita mungkin juga bisa mengerti.

Gambar kerupuk yang juga mewarnai setiap bab yang ada di dalam buku, hampir selalu berupa potongan yang telah digigit, makin lama makin mengecil. Barangkali dengan cara ini, Surayah ingin pembacanya untuk mencerna tulisannya sedikit demi sedikit, memahami setiap detailnya. Coba deh, kalau kamu makan kerupuk dengan terburu-buru, kamu pasti tersedak, iya, kan? Bacalah, nikmatilah setiap detail pemikiran Pidi Baiq, supaya kamu benar-benar mengerti.

Lagipula kerupuk boleh jadi menjadi lambang pelengkap; bahwa sebagian besar kita, tak bisa makan nasi tanpa itu. Kerupuk adalah pelengkap yang menyempurnakan setiap masakan bagi mereka yang menyukainya. Soto ayam? Pasti ada kerupuknya. Bubur ayam? Jangan sampai ketinggalan kerupuknya. Nasi uduk? Lontong sayur? Semua terasa tak lengkap tanpa kerupuk. Barangkali, ini juga harapan Surayah terhadap buku Asbunayah; bahwa buku ini menjadi pelengkap karya-karya sebelumnya, bahwa dengan membaca buku ini, lengkaplah pemikiran kita tentang apa yang ada dalam pikiran Surayah.

Jadi, besar juga makna filosofis dari halaman sampul yang kontroversial ini, ya. Lagipula, ada banyak cerita yang mungkin belum Pidi Baiq ceritakan sebelumnya dalam buku ini. Ada tulisan-tulisannya sejak zaman SMA, tulisan-tulisan masa perkuliahan, tulisannya ketika menjadi seorang ayah untuk kedua anaknya, Timor dan Bebe. Segala kelucuan yang disampaikannya, membuat kita berpikir untuk tahu lebih banyak, bahwa ada makna tersirat yang ingin disampaikannya, makna yang lebih dari sekadar humor.

Bukankah begitu? Bukankah tujuan berhumor memang tak sekadar menjadi bahan hiburan semata?

[Hanung W L/ Copywriter Mizanstore]

 

Bagikan ke Sekitarmu!
Asbunayah: (Bukan) Sebuah Analisis Filosofis