Sudah waktunya pulang, tetapi aku masih harus lembur di kantor. Tidak kuperhatikan telepon genggamku karena pekerjaanku begitu menumpuk. Tenggat waktu sudah dekat, semua bahan harus siap sebelum rapat.

Pukul 21.00, ada telepon masuk. Ayah. Tidak kugubris telepon tersebut sembari masih menyelesaikan presentasi untuk esok hari.

Pukul 21.05 teleponku bergetar lagi. Kali ini ada pesan masuk. Ada WhatsApp dari Ayah.

“Pulang kapan?”

Tugasku lagi lagi membuatku acuh tak acuh terhadap pesan dari ayah. Aku masih terus asyik mengetik dan merapikan typo di sana dan sini agar presentasiku sempurna esok hari.

Pukul 22.43 aku bisa menghela napas lega. Selesai sudah semuanya. Untuk memastikan kelengkapan semua data, aku baca ulang semua tulisanku. Jangan sampai ada yang terlewat. Jangan sampai ada ada yang salah.

Pukul 22.51 aku sudah mematikan layar komputerku. Kurapikan meja dari buku-buku yang berserakan. Aku cetak naskah untuk presentasi esok hari. Aku sudah siap untuk pulang sekarang.

Aku menyalakan ponselku. Ada 5 panggilan masuk dari Ayah. Ada pula beberapa pesan yang masuk di layar ponsel, pesan dari Ayah.

pexels-photo-177707

free image from pexels.com

21.05 “Pulang kapan?”

21.23 “Nak, masih di kantor?’

22.01 “Selesaikan di rumah saja. Sudah malam.”

22.10 “Kabari Ayah kalau sudah mau pulang. Biar Ayah jemput.”

22.31 “Pulang sekarang?”

22.32 “Ayah masih nonton bola. Bilang kalau sudah saatnya pulang.”

22.41 “Ayah masih nonton bola dengan Pak Rudi di pos satpam, ya..”

Pesan terakhir kubaca dengan mengejap-ngejapkan mataku. Ayah sudah sampai di kantorku, menungguku pulang di pos satpam. Padahal aku sama sekali tidak membalas pesannya.

Ia bahkan tidak menunggu di dalam. Barangkali, Ayah takut konsentrasiku terganggu. Bagaimana aku bisa begitu mengabaikannya, sementara ia senantiasa mengusahakan untuk selalu ada?

Aku menghampiri pos satpam dan menemui Ayahku dan Pak Rudi. Mukanya sumringah menatapku telah berada di sampingnya.

Kami berjalan ke arah parkiran motor. Aku menatsp lamat-lamat sosok Ayah yang kini sudah semakin tua. Rambutnya tidak lagi memenuhi kepalanya. Sebagian rambut tidak lagi memenuhi kepalanya. Sebagian yang tersisa pun sudah hampir memutih semuanya.

Aku tersadar dari lamunanku yang menatap punggungnya ketika Ayah menyodorkan jaket dan helm.

“Yuk pulang,” katanya dengan senyum yang lebih hangat dari jaket yang diberikannya padaku.

Aku tidak lagi kuat menahannya. Aku memeluk Ayah dan menangis sejadinya.

“Lho, kok nangis?” Ayah kebingungan dengan reaksiku yang sedemikian terharu.

“Pasti karena lapar, ya. Jangan nangis, ya. Ayah sudah bilang Ibu untuk menghangatkan ayam goreng kecap kesukaanmu. Nanti kita makan bersama, ya.”

Kami berdua tertawa sejadinya. Ayah masih memperlakukanku seperti putri kecilnya. Perhatiannya, kasih sayangnya, tidak ubahnya masih selalu sama bahkan setiap saat bertambah untukku.

Aku beruntung memilikinya. Aku harus bersikap  sebaik-baiknya supaya dia tahu aku adalah putri kecil yang paling beruntung di dunia.

***

Ayah selalu ingin berbuat yang terbaik untuk kita. Cintai, sayangi, dan hormati ayah kita karena itulah sebaik-baik perilaku yang bisa kita lakukan untuk membahagiakannya.

“The finest act of goodness is that a person should treat kindly the loved ones of his father.” (H.R. Muslim)

N.B. Pesan kebaikan untuk menyayangi dan menghormati Ayah terdapat dalam buku Allah, Love and Life pesan kebaikan nomor 10. Hormati Ayah, Hargai Hak Orang Lain.

Bagikan ke Sekitarmu!
Hari Ayah: Terima kasih, Ayah