Capaian Indonesia dalam dunia literasi saat ini dapat dikatakan cukup baik. Melalui penghargaan yang didapat dari UNESCO terlihat bahwa angka literacy rate Indonesia pada 2009 sudah mencapai 93% (Tempo, 2012). Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah angka tuna-aksara dan kini menempati urutan ke-3 dari 140 negara di dunia sebagai bagian dari negara yang memiliki angka melek huruf tertinggi (Kemendikbud, 2015).

Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri bahwa angka niraksara belum habis sama sekali. Ini artinya, masih ada saja sekelompok masyarakat  yang tidak bisa baca dan tulis. Menurut data dari UNESCO, dua pertiga dari penduduk kurang beruntung dunia yang niraksara adalah perempuan. Miris sekali.

Meskipun demikian, dari data yang disebutkan oleh UNESCO, saat ini angka buta huruf di Indonesia, khususnya untuk penduduk perempuan, tidak sampai satu persen jumlahnya. Apakah fakta tersebut menunjukkan bahwa perjuangan emansipasi yang dielu-elukan oleh Kartini di tahun-tahun silam telah membuahkan hasil?

Menengok ke Masa Sebelum Kartini

Dalam salah satu artikel di Jurnal Perempuan.org, nasib perempuan  sebelum masa Kartini telah menjadi sorotan tersendiri. Di sana dijabarkan bahwa pada abad ke-18 dan ke-19, atau era sebelum Kartini merupakan masa-masa yang cukup berat bagi Indonesia secara umum, dan penduduk perempuannya secara khusus.

Pada saat itu, Indonesia dihadapkan pada Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830 M) dan awal pendudukan militer Jepang (1942-1945). Secara khusus dibahas dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (yang diterbitkan ulang) bahwa pada awal sebelum Perang Jawa dan masa-masa sesudahnya adalah masa yang krusial dalam menelusuri perubahan peran dan kuasa perempuan—secara khusus disebutkan perempuan Jawa—sebelum begitu terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang didominasi lelaki patriarkis sekaligus sebelum kuasa Islam-Jawa patriarkis begitu dominan (Carey dan Houben, 2016).

“Perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!”

Salah satu catatan dari Daendels yang menyinggung sentimen gender tersebut sebenarnya bukan merupakan penghinaan, tetapi ia justru menyadari bahwa perempuan Indonesia—dalam buku lebih sering disebutkan perempuan Jawa—memiliki kekuatan yang dapat menjadi ancaman dan tidak bisa diabaikan. Maksud merendahkan perempuan di muka umum tersebut tidak lebih dari upaya untuk membuat perempuan merasa rendah diri sehingga diharapkan akan terus tunduh di bawah kekuasaan patriarki yang disebarkan pemerintahan kolonial.

Mendapat penghormatan atas hak-haknya saja terlihat sangat sulit, apalagi memeroleh pendidikan di bidang literasi?

Masa-masa Kartini

Masarakat tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan. Pada tahun-tahun mendatang tepatnya pada awal 1900-an organisasi pergerakan memang mulai marak digalakkan. Sedikit banyak, organisasi pergerakan tersebut terpengaruh oleh sosok pembaharu bagi perjuangan bangsa Indonesia, Kartini.

kartini saudara

foto Kartini dan saudara-saudaranya

Perempuan yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini tersebut lahir sebagai anak bangsawan dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara. Mengenai sosok Kartini, Pramoedya Ananta Toer pernah mengungkapkan sebuah tulisan yang menarik.

“Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno. Bersamaan dengan batas sejarah pribumi ini, mulai berakhir pula penjajahan kuno Belanda atas Indonesia dan memasuki babak sejarah penjajahan baru; imperialisme modern” (Toer, 2009: 12).

Sudah barang tentu hal yang diperjuangkan oleh Kartini adalah emansipasi atau kesetaraan hak untuk perempuan dan laki-laki. Hal ini muncul karena bagi Kartini, perempuan Indonesia—terutama perempuan Jawa—terlihat sangat tertindak hak-hak kemanusiaannya. Yang paling menjadi perhatian Kartini adalah permasalahan yang berhubungan dengan aksara, literasi, dan pendidikan bagi perempuan.

 “Perempuan tidak perlu sekolah. Perempuan tidak perlu tahu baca tulis. Perempuan hanya perlu tahu masak dan dapur, serta melayani suami.”

Beruntung Kartini lahir dari keluarga ningrat sehingga ia dapat memeroleh pendidikan yang cukup tinggi sehingga dapat mengerti baca tulis. Akan tetapi, melihat orang-orang di sekitarnya, abdi dalam, dan teman-teman lain yang tidak seberuntung dirinya, ia merasa sangat miris.

Masa Setelah Kartini

Sebagai generasi penerus perjuangan Kartini, perempuan-perempuan Indonesia terus bergerak bersama untuk mencapai kesetaraan yang diperjuangkan oleh Kartini, terutama dalam dunia literasi dan pendidikan. Kini, perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan sehingga boleh bersekolah bersama dan memeroleh hak pendidikan yang sama. Sebagai dampaknya, seperti yang sudah dijabarkan di atas, angka buta aksara Indonesia, khususnya untuk para perempuan terus menurun jumlahnya, dan kini tidak sampai satu persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.

pexels-photo-221485

perempuan dan laki-laki punya hak yang sama dalam literasi (image from pexels.com)

Akan tetapi, masih ada PR yang harus diselesaikan. Meskipun tidak sampai satu persen, tetap saja masih ada masyarakat Indonesia—khususnya kaum perempuan—yang belum memeroleh haknya, merdeka dalam bidang literasi, mengerti dan memiliki pengetahuan baca dan tulis. Apakah para perempuan harus meneruskan perjuangan ini sendirian? Atau bisakah kita semua bergerak untuk sama-sama mencari penyelesaian?

(diolah dari artikel tempo.co, kemendikbud.co.id, jurnalperempuan.org, dan sumber lain dengan penyesuaian untuk memperingati Hari Kartini)

[Hanung W L/Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Kartini, Perempuan, dan Perjuangan Literasi yang Belum Usai