Kemarin, 11 Februari 2018, Acara Menjadi Manusia dengan Sastra diadakan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Acara ini mengundang tokoh-tokoh sastra yang penting seperti Budi Darma dan Seno Gumira Adjidarma. Turut hadir pula  keluarga almarhum BondanWinarno, penulis buku Petang Panjang di Central Park. Eliseo Winarno, putra Pak Bondan, yang berbagi cerita tentang ayahnya dan pesan sang ayah tentang menulis.  Tidak sempat datang? Berikut ini adalah ringkasan acara yang berlangsung meriah di hari Minggu, kemarin.

Menjadi Manusia dengan Sastra diadakan pada pukul 15.00 hingga 17.00 WIB. Acara dibuka dengan Dramatical Reading yang dibacakan oleh Reno Muhammad & Tim Khatulistiwa Muda. “Lelaki Tua Tanpa Nama” adalah cerpen yang diambil dari buku Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari CEO Noura Publishing, Pangestu Ningsih. Ada kutipan menarik dari H. Agus Salim yang disampaikan oleh Mbak Tutuk, panggilan akrabnya.

“Bukanlah pemberian jika bukan sesuatu yang kamu cintai.” Oleh karena itu, Noura Publishing menerbitkan buku-buku yang mulia, dimaksudkan sebagai pemberian atas sesuatu yang dicintai. “Percayalah bahwa karya-karya ini sangat dalam, sangat indah, tidak kalah dengan karya populer masa kini,” kata Mbak Tutuk.

Selanjutnya, ada persembahan khusus untuk Iwan Simatupang dan BondanWinarno. Iwan Simatupang, tokoh sastra yang membuka mata pembaca untuk membaca sastra dengan cara yang berbeda. Bukunya yang berjudul Ziarah mendapat penghargaan buku romance terbaik ASEAN pada 1977. Buku tersebut kini dapat dinikmati kembali karena telah dicetak ulang. Selanjutnya, Bondan Winarno, yang dikenal sebagai pembawa acara makanan “makyus”, tak banyak yang mengetahui bahwa ia juga seorang sastrawan. Buku Petang Panjang di Central Park adalah manuskrip terakhir yang menjadi barang kenang-kenangan dari seorang Bondan Winarno.

Baca juga:

Menjadi Manusia dengan Sastra Menurut Seno Gumira Adjidarma dan Budi Darma

Perbincangan mengenai sastra dan menjadi manusia, semua berangkat dari minat baca, dan dikhususkan pada manusia-manusia Indonesia. Begitu banyak karya yang menarik, mengapa tak kemudian mampu meningkatkan juga minat baca di Indonesia? Seno dan Budi Darma punya jawaban tersendiri.

Seno mengatakan bahwa mungkin juga, semua bermula dari mitos yang beredar tentang sastra. Sastra terkesan berjarak dengan kehidupan kita. Munculnya sastra tinggi dan sastra rendah, sastra klasik dan sastra modern, sastra memembuat seakan misalnya orang yang membaca sastra tinggi kemudian punya nilai yang berbeda dengan sastra rendah. Begitu pula dengan pembaca sastra klasik apa juga punya nilai berbeda dengan pembaca sastra modern?

Terlalu banyak mitos yang membuat sastra kemudian justru menjadi berjarak dengan pembaca. Setidaknya, ada 3 mitos sastra yang mungkin membuat sastra “dijauhi” atau bahkan “bikin alergi”.

1. Sastra itu Curhat

2. Bahasa Sastra Mendayu-dayu

3. Sastra Berisi Pedoman Hidup (Menggurui)

Hal-hal tersebut terlalu melekat pada sastra. Bagaimana bisa menikmati sastra, jika terlalu banyak tuntutan yang harus dimiliki sebuah karya sastra? Dengan canda Seno sempat berkata, “jika perlu, kita ubah saja istilah sastra menjadi paimo saja, supaya tak lagi ada jarak untuk menikmatinya, supaya tidak seram kesannya.”

Budi Darma mendapat bagian untuk menerangkan sebuah pertanyaan “jika temanya adalah Menjadi Manusia dengan Sastra, apakah yang belum mengenal sastra belum menjadi manusia?”

Tentu saja tidak. Tentu mereka yang tidak membaca karya sastra atau tidak menggeluti kegiatan sastra, tidak lantas menjadikannya bukan manusia. Akan tetapi, apakah betul selama hidup, ada manusia sama sekali tidak menyentuh sastra? Padahal ketika kita mulai mengenai kata, maka kita sudah bersastra. Ketika kita mulai berbicara, membaca, menulis, tentu kita sudah bersastra.

Menjadi Manusia dengan Sastra sebenarnya punya makna lebih dalam, bahwa dengan banyak membaca karya sastra misalnya, kita akan lebih paham, lebih peka, lebih tahu, sifat manusia dan bagaimana menyikapinya. Budi Darma kemudian mengutip kata-kata Rene Wellek dan Autin Warren yang telah melakukan penelitian sejak lama dan masih relevan hingga sekarang bahwa,

“Seorang pengarang lebih pandai memahami psikologi manusia, dibandingkan oleh Psikolog itu sendiri.” 

Begitu panjang, mendalam, dan tentu sangat menarik perbincangan mengenai Menjadi Manusia dengan Sastra ini. Para hadirin juga memberikan antusiasmenya melalui pertanyaan-pertanyaan yang bagus mengenai hal tersebut. Disela-sela pembicaraan pun, diputar video dari Violetta Simatupang yang kala itu tidak dapat hadir di Galeri Indonesia kaya. Dramatical reading Penari dari Kutai yang diambil dari buku DuniaSukab karya Seno Gumira Ajidarma, menutup seluruh rangkaian acara.

Terakhir, bacalah sastra, buatlah karya-karya sastra, seperti satu kutipan yang menarik sebagai gabungan dari pendapat Budi Darma dan Seno Gumira Ajidarma,

“Buatlah sebuah karya yang membekas, yang “menggaung”, yang turun-menurun, terus diwariskan sebagai sesuatu yang membekas terus bagi pembacanya.”

Barangkali, itulah tujuan utama dari bersastra itu sendiri—atau tidak? Kamu yang paling mengetahui.

[Hanung W L/Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Sehari Menjadi Manusia dengan Sastra