Dibalik Tren “Berapa Harga Outfit Lo?”

Sering menonton tantangan “Berapa Harga Outfit Lo?” yang marak beredar di Youtube? Banyak youtuber yang melakukan hal ini, salah satu yang terkenal dari Indonesia adalah Yoshiolo. Sedangkan di luar negeri, dipopulerkan oleh akun The Unknown Vlogs dalam video “How Much Your Outfit Worth?”.

Youtube/Yoshiolo

Sebenarnya ada apa di balik tantangan ini? Mengapa marak dilakukan dan disukai orang banyak? Apalagi kalau outfit yang dikenakan semakin mahal dan berkelas. Orang makin senang dan terus membagikannya. Belum lagi ditambah ratusan likes dan komen, mulai dari yang serius hingga menggelitik. Alhasil, brand atau produk yang diucapkan, akan semakin terkenal.

Konsumsi, Sharing dan Shaping

Ini jawabannya! Karena di era #MO: Mobilisasi dan Orkestrasi, netizen memiliki hasrat untuk melakukan sharing yang lebih tinggi dan memobilisasi berita atau narasi tentang dirinya. Konsumen menjadi terlibat sebagai partisipan aktif dalam melakukan konsumsi. Karena konsumen bergeser menjadi partisipan, maka tingkatannya dalam partisipasi memiliki skala. Ada yang hanya sekadar membagikan(sharing), tapi tidak sedikit yang mengolahnya dengan mempertajam atau dikenal dengan nama shaping. Shaping ini, maksudnya mereka menambahkan, memberi sentuhan-sentuhan tertentu hingga menggiring opini dari apa yang dikonsumsi.

Sedangkan Fenomena “Berapa Harga Outfit Lo?”  disebut juga sebagai esteem economy, yaitu setiap orang ingin “merasa berharga” dan dapat diterima secara luas. Jadi, tanpa sadar konsumen menjadi pemasar brand tersebut.

Apa Dampak “Berapa Harga Outfit Lo?”

Mungkin sebagian dari kita berpikir kalau fenomena tersebut hanyalah ajang untuk “menyombongkan” diri saja. Padahal, kalau dilihat lebih dalam, mereka tidak hanya menjadi konsumen tetapi juga berpartisipasi dalam memasarkan produk tersebut. Jika kita mencari kata kunci “Berapa Harga Outfit Lo?” di Google, akan muncul related search-nya, yaitu merek-merek yang sering dikenakan orang-orang ini. Jadinya? Brand tersebut tampaknya tak perlu lagi memasarkan produknya melalui artis atau model ternama.

Kesimpulannya, masyarakat saat ini bukan hanya menjadi konsumen saja, melainkan juga partisipan yang sangat aktif untuk menggerakan mobilisasi hingga akhirnya membentuk connected society. Kamu mau tahu lebih banyak seputar #MO? Baca selengkapnya dalam buku Rhenald Kasali, #MO:Mobilisasi dan Orkestrasi. Menjelaskan bagaimana mobilisasi dan orkestrasi baru dalam connected society dengan mengangkat tema yang sederhana, konkret, emosional, dan dapat dibuat cerita yang menarik dan menggugah. Penggunaan #MO boleh jadi sebuah alat untuk menyebarkan isu tanpa terkesan menggurui.

Awita Ekasari/Mizanstore

Bagikan ke Sekitarmu!
Dibalik Tren “Berapa Harga Outfit Lo?”