Ketika Pena Menjadi Senjata: Refleksi Hari Pahlawan dari Buku Memahami Hamka karya Haidar Musyafa

Saat memperingati Hari Pahlawan, sering kali yang terbayang adalah sosok-sosok yang berjuang di garis depan, mengangkat senjata melawan penjajah. Namun, tidak semua pahlawan lahir di medan perang. Ada yang berjuang di medan pemikiran, melawan kebodohan dan kezaliman dengan kekuatan kata dan keberanian nurani.

Salah satunya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang dikenal dengan Buya Hamka. Ia bukan hanya ulama dan sastrawan besar, tetapi juga seorang pemikir dan pejuang kemerdekaan intelektual Indonesia. Dalam buku Memahami Hamka karya Haidar Musyafa, kita diajak menelusuri perjalanan hidup dan pemikiran Hamka sebagai sosok yang menyalakan cahaya moral di tengah kegelapan zaman.

 

Hamka hidup pada masa ketika Indonesia masih berjuang mencari jati diri setelah merdeka. Di tengah pergolakan politik dan ketegangan ideologi, ia berdiri dengan tegas mempertahankan nilai kejujuran, kebebasan berpikir, dan integritas moral. Bahkan ketika dipenjara karena perbedaan pandangan politik, ia tidak berhenti menulis. Dari balik jeruji, lahirlah karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar — bukti bahwa keyakinan dan akal sehat tidak bisa dipenjara.

“Orang yang merdeka ialah orang yang berani mengatakan yang benar meskipun dirinya sendiri rugi.”

— Buya Hamka

Sebagai sastrawan, Hamka menggunakan karya-karyanya sebagai sarana dakwah dan perjuangan sosial. Melalui novel-novelnya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli, Hamka mengkritik ketimpangan sosial dan adat yang dianggap mengekang nilai kemanusiaan. Ia memadukan keindahan sastra dengan pesan moral yang mendalam — bahwa cinta, keadilan, dan keikhlasan adalah bagian dari iman.

 

Baca Juga.

Si Bengal yang Jadi Ulama 

Apa Jawaban Hamka Ketika Diminta Berpoligami?

 

Dalam Memahami Hamka, Haidar Musyafa menunjukkan sisi lain sang ulama: seorang manusia yang lembut namun tegas, yang berpikir universal tanpa kehilangan akar keislamannya. Buku ini menegaskan bahwa Hamka bukan hanya milik sejarah, tetapi milik setiap zaman yang masih membutuhkan suara moral yang jernih.

Kini, ketika kita hidup di era banjir informasi dan polarisasi, gagasan Hamka terasa semakin relevan. Ia mengingatkan kita bahwa perjuangan masa kini bukan lagi melawan penjajah bersenjata, melainkan melawan kebodohan, kemunafikan, dan kehilangan adab berpikir.

“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”

— Buya Hamka

Melalui buku Memahami Hamka, kita disadarkan bahwa menjadi pahlawan bisa dimulai dari hal sederhana: berpikir jernih, menulis dengan kejujuran, dan berani berdiri di sisi yang benar, sekalipun sendirian.

Hamka menunjukkan bahwa pena bisa menjadi senjata, dan pikiran yang lurus adalah bentuk perjuangan yang abadi.

Mungkin, pahlawan sejati bukanlah yang menumpahkan darah di medan perang, melainkan yang menjaga kejernihan akal dan keluhuran budi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mari refleksikan hari Pahlawan dengan mengisi pikiran dan akal dengan ilmu yang bermanfaat, kejujuran dalam berpikir, serta keberanian untuk membela kebenaran. Salah satu cara paling mudah mengisi pemikiran kita dengan ilmu yang bermanfaat, yaitu dengan membaca buku. 

Melalui buku akal dan pikiran kita akan terbuka, lebih bijak dalam menilai sesuatu, dan tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang menyesatkan. Penuhi kebutuhan gizi untuk pikiranmu dengan buku-buku yang berbobot seputar Indonesia, politik, sejarah, dan pemikiran bangsa. Semuanya bisa kamu pilih dalam promo Hari Pahlawan di Mizanstore yang berlangsung 5-12 November 2025. Cek selengkapnya di sini “Promo Hari Pahlawan”

 

(Diolah dari berbagai sumber dengan penyesuaian)

Awita Ekasari/Content Writer Mizanstore

Bagikan ke Sekitarmu!
Ketika Pena Menjadi Senjata: Refleksi Hari Pahlawan dari Buku Memahami Hamka karya Haidar Musyafa
Postingan terkait

This website uses cookies.