Pembajakan Buku, Kejahatan Peradaban yang Terus Didiamkan

Agustus 2019, 12 penerbit buku di Yogyakarta yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) melakukan langkah yang sangat baik. Mereka resmi melaporkan perkara pembajakan buku yang diduga dilakukan oleh sejumlah pihak.

Beberapa minggu setelah dilaporkan, upaya ini menghasilkan sebuah titik terang. Hal tersebut berdasarkan unggahan twitter penulis buku @Puthutea,

twitter/Puthutea

Bukan itu saja, pada 8 Oktober 2019, buku bajakan bahkan didapati di salah satu penyelenggaraan bazar buku di sebuah balai desa,tepatnya di Balai Desa Kedawung, Kecamatan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Dikutip dari Tirto, rupanya pelaku penyelenggara bazar tersebut berasal dari Yogyakarta yang pada 2012 pernah dipergoki jual buku bajakan di bazar buku. Mereka adalah marketing sebuah penerbitan di Yogya. Setelah di-black list dari kelompok bazar buku, mereka melakukan  bazar sendiri ke desa-desa dan ikut event hari jadi kota/kabupaten. Setelah diviralkan oleh salah satu pengunjung yang datang, akhirnya bazar buku ini diberhentikan penyelenggaraannya.

Dikutip dari tirto.id, di Indonesia, para pembajak diperkirakan telah menggarong 30 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar 397 miliar rupiah pada 2006.

Sungguh sangat miris melihat fenomena di atas, padahal hukum yang mengatur pembajakan buku telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tepatnya pada  Pasal 9 ayat (3) dinyatakan: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. Pasal 10 dari undang-undang yang sama berbunyi “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”.

Baca juga.

Mizan Melawan Pembajakan dengan Buku Digital Original

Pembajakan Buku Rugikan Banyak Pihak

Undang-undangnya sudah ada? Tapi kenyataanya masih belum berhasil terlaksana dengan baik. Bahkan istilah buku “Repro” atau “reproduksi” sudah sangat lazim digunakan dan menjadi hal maklum. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aparat penegak hukum tidak segarang saat melakukan razia buku kiri? Padahal kalau dikupas lebih dalam, para oknum pembajak ini merusak semua tatanan dan alur industri perbukuan dan termasuk merugikan negara karena alokasi pajak buku menjadi terganggu.

Jahatnya, mereka tidak hanya mencuri hak kekayaan intelektual penulis dan penerbit, tapi juga merugikan peran orang-orang yang menggantungkan hidup pada buku. Bayangkan, sebelum buku itu terbit ada proses panjang di dalamnya, naskah dari penulis lebih dulu masuk ke tangan editor untuk disunting. Dari editor, naskah diberikan  ke perancang tata letak yang akan menyusun halaman demi halaman. Mereka akan menentukan ukuran dan jenis huruf yang dipakai, serta menentukan kebutuhan ilustrasi atau foto jika diperlukan. Kemudian, desainer sampul atau ilustrator membuat sampul agar menarik saat dijual di pasaran. Setelah naskah selesai, masih ada proses baca ulang agar benar-benar sesuai dan pembaca dapat menikmati buku yang berkualitas.

Rangkaian proses yang disebutkan itu baru rangkaian produksi saja, belum masuk ke sisi distribusi hingga kemudian promosi sampai penjualan. Bisa dibayangkan berapa banyak orang yang dirugikan. Beberapa buku bahkan memerlukan treatment marketing khusus, seperti acara launching dan bedah buku yang tentunya dibutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Artinya, proses pembuatan buku dari ide penulis, penyutingan, desain sampul, pemasaran, hingga distribusi tentu mengeluarkan biaya yang tak sedikit dan tentu melibatkan sangat banyak pihak.

Dari hasil penjualan buku itulah, keuntungan  yang diperoleh adalah keuntungan yang dibagi untuk royalti penulis dan orang-orang yang bergiat di dunia perbukuan. Itu berarti, satu eksemplar buku yang terjual keuntungannya tidak hanya untuk satu orang saja?Melainkan puluhan hingga ratusan orang.

Berbeda dengan si pembajak buku?Dengan seenaknya mereka mencuri, menggandakan, dan menjual secara cuma-cuma dengan harga yang sangat murah dan keuntungannya?Ya, dinikmati sendiri. Sungguh keadaan yang miris.

Bukan hanya merugikan pihak penerbitan, penulis, dan orang-orang di dalamnya. Sebagian pembaca awam yang tidak bisa membedakan mana buku asli dan bajakan, tentu akan kehilangan kesempatan untuk menikmati terbitan bermutu. Konsumen akan merasa tertipu karena sudah membeli buku bajakan.

Bayangkan juga kalau nanti pembajakan buku semakin merajalela, mungkin bisa jadi semakin jarang penulis yang mau menerbitkan buku. Alhasil, mungkin kamu tidak bisa lagi menemukan buku-buku best seller, seperti karya Dee Lestari, Andrea Hirata, Pidi Baiq, Aan Mansyur, dan lain-lain. Masih banyak lagi upaya peningkatan literasi yang dihancurkan oleh pembajakan. Rasa-rasanya pembajakan buku layak disebut juga sebagai kejahatan peradaban.

Perlu Adanya Langkah

Agar pembajakan buku tidak semakin merajalela, memang diperlukan kerja sama dari semua pihak. Baik itu penulis, penerbit, asosiasi, dan penegakan hukum dari pemerintah. Perlu ada langkah konkret agar para pembajak buku merasa kapok.

Dikutip dari Tirto.id, menurut ahli Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Prayudi Setiadharma, pendekatan pidana untuk memberantas pembajakan buku terkendala asas delik aduan.

“Aparat penegak hukum perlu kerja sama dengan Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham [untuk] membuat semacam pusat pengaduan,” kata Prayudi.

Dengan adanya pusat pengaduan, ia menyebut, penulis bakal mengetahui langkah yang perlu dilakukan saat mengetahui bukunya dibajak orang lain. Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan edukasi bagaimana membedakan mana buku bajakan dan asli.

Karena langkah kecil yang dapat kita lakukan sebagai pembaca adalah dengan tidak membeli buku bajakan/kw/repro/non ori/atau apa pun sebutan samarannya.

Yuk, sama-sama berjuang untuk literasi di negeri ini.

Awita Ekasari/Mizanstore

Bagikan ke Sekitarmu!
Pembajakan Buku, Kejahatan Peradaban yang Terus Didiamkan