Ada saja bahan yang dikeluhkan manusia setiap harinya. Yang bekerja mengeluh capek. Yang menganggur mengeluh bosan. Yang belum menikah mengeluh lelah sendiri. Yang sudah berpasangan mengeluh lelah mengurus istri/suami. Yang belum memiliki anak mengeluh kesepian, sedangkan yang memiliki anak mengeluh berisik dan kelelahan. Tidak ada habisnya, ya, keluhan manusia itu?

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (Q.S. Al Maarij: 19)

Sudah difirmankan demikian dalam Alquran, manusia, memang begitu adanya. Yang kaya kerepotan mengurus harta, yang miskin kebingungan harus makan dengan apa.

Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.

(Q.S. Al Maarij: 20)

Seiring dengan perkembangan teknologi, manusia pun semakin berkembang kepandaiannya. Lahan apa pun dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkeluh kesah. Teman, buku harian (diary), dan kini media sosial. Semakin banyak media sosial artinya semakin besar lahan untuk berkeluh kesah.

Kalau ditanya mengapa mengeluh, jawabannya bisa jadi sangat filosofis. Melibatkan pengetahuan di luar diri kita karena bisa saja dijawab “karena Tuhan menciptakan begitu” atau barangkali jawaban-jawaban lainnya ditawarkan karena ya, diri ini tidak tahu jawaban pastinya.

twitter-292994_960_720

ilustrasi sosial media masa kini (image from pixabay.com)

Kembali pada pembahsan soal mengeluh via media sosial, hal ini barangkali melegakan bagi sebagian orang, tapi sebagian lainnya—kamu sebagai pengguna lain yang melihat keluhan orang lain, misalnya—apa tidak merasa terganggu?

Mengganggu, Terganggu, Ganggu

Kalau kamu yang mengeluarkan unek-unek dan merasa harus menuangkan keluh kesahmu melalui sosial media, silakan. Sosial media diciptakan dengan tanpa aturan yang mengikat bahwa keluhan tidak diperbolehkan di sana, bukan?

Akan tetapi, seperti penamaannya “sosial”, hal ini menandakan bahwa di dalam media itu, bukan hanya ada kamu sebagai penggunanya. Ada jutaan atau barangkali miliaran orang yang menggunakan media yang sama.

Jika melihat kedua hal tersebut, maka ada dua hal yang mungkin: kamu boleh mengeluh, semetara orang lain boleh untuk tidak suka terhadap keluhanmu. Cukup adil, bukan?

“Kalo nggak suka unfoll aja!”

“Kalo sebel unfriend aja!”

Tentu saja kebijakan itu juga dapat dibenarkan. Tak perlu menghujat orang yang mengeluh dengan “nyebelin banget sih itu orang ngeluh mulu kaya gapernah bahagia aja!” begitu, duhai netizen. Itulah fungsi adanya tombol unfollow dan unfriend. Maka, silakan.

Barangkali, jika para pengguna sosial media dapat berpikir bijak seperti demikian, bumi ini akan menjadi tempat yang tenang.

Jadi, bagaimana soal perkara keluh mengeluh? Apa ini wajar? Apa ini boleh?

Pertanyaannya barangkali bukan boleh atau tidak boleh. Boleh atau tidak boleh menurut siapa? Kalau menurut keinginan pribadi, tentu segala hal adalah boleh. Seperti yang Pidi Baiq sering katakan, ia melakukan ini dan itu karena boleh, boleh menurut dia, dan itu tentu tidak bisa disalahkan.

Barangkali, persoalannya adalah begini. Kita semua hidup di dunia, bukan tanpa masalah. Semua orang punya masalah hidup. Semua orang punya topic untuk dikeluhkan. Setiap hari, setiap waktu, selalu ada bahan untuk dikeluarkan.

Hanya saja, beberapa orang itu pandai memanajemen perasaannya. “Kita bisa mengontrol apa yang ingin kita rasakan,” orang bijak pernah berkata.

Sekarang tinggal melihat bagaimana kita memandang permasalahan itu. Mau terus menerus dikeluhkan atau mau mulai mencoba melihat sisi positifnya?

Mengelola Emosi Menjadi Karya

Bukan hanya satu atau dua tapi sudah banyak contoh mengenai hal ini. Para pelukis itu, pandai membuat lukisan abstrak atau lukisan indah lainnya dengan menuangkan emosi di dalamnya. Karyanya, bisa terjual ratusan juta rupiah.

Para penulis buku? Mereka pandai bercerita, permasalahan, keluhan dari dalam diri dan dari manusia di sekitarnya untuk menjadi sebuah karya yang cemerlang. Coba sesekali baca tulisan-tulisan Seno Gumira Adjidarma atau penulis lainnya yang pandai mengaduk-aduk emosi dan perasaan. Atau cobalah baca The Book of Forbidden Feelings karya Lala Bohang. Ia mencampurkan seni dan sastra salah sebuah buku tentang perasaan yang kadang menyelimuti batin kita dalam menjalani kehidupan.

gam

selalu ada yang bisa disyukuri setiap hari (image from pixabay.com)

Ada begitu banyak alasan untuk mengeluh, ada ribuan bahkan jutaan alasan untuk dikeluhkan dan itu wajar. Jadikanlah satu alasan, satu saja alasan untuk bersyukur, maka itu saja cukup. Begitu cukup.

Mudah-mudahan kita adalah orang yang pandai bersyukur dan sedikit mengeluh. Aamiin.

Bagikan ke Sekitarmu!
Manusia Mengeluh Melulu: Wajar?