Aku dan Kau dalam 21 puisi. Aku dan Kau dalam larik-larik yang berbaris. Aku dan Kau; Kau yang mati tapi hidup dalam Aku; Aku yang hidup tapi serasa mati tanpa Kau.

Cinta yang Marah adalah judul yang dipilih untuk memuat 21 puisi. Dua puluh satu puisi sebagai respons atas peristiwa yang disebut reformasi. Dua puluh satu puisi, sebagai penanda lengsernya Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru pada 21 Mei 1998.

Sebagaimana Aan dikenal, tak pernah benar-benar ada kemarahan yang teramat jelas ia pampangkan, selain atas dasar cinta. Aan yang selalu membuat pembaca menjadi teduh atas kata-katanya. Aan yang mencoba mengungkapkan marahnya; jenis kemarahan yang santun dan sopan bukan penuh makian kebencian.

Aku dan Kau dalam Cinta yang Marah

Aku dan Kau bisa jadi siapa saja. Bisa jadi Aku adalah aku, atau Aku adalah kau, atau Kau adalah aku; dapat pula Aku dan Kau bukan siapa-siapa selain daripada mereka.

Selayaknya semua karya sastra, sebuah puisi bebas diinterpretasikan sebagai apa saja, sebagai siapa saja. Oleh karena itu, dengan cara begini tidak pernah ada yang benar dan salah dalam menginterpretasikan isi atas sebuah karya sastra, seperti tulisan berikut yang juga bagian dari interpretasi pembaca.

Aku dalam puisi ini adalah sosok seseorang yang sangat mencintai Kau, lebih daripada tokoh Kau mencintai tokoh Aku. Sayangnya, kasih sayang Aku dan Kau terpisahkan oleh jarak dan ribut-ribut massa dan keadaan yang menuntut ini dan itu. Iya, kisah cinta Aku dan Kau tumbuh di tengah ribut-ribut masalah reformasi.

red book

ilustrasi buku merah (image from pexels.com)

Jika membaca puisi-puisi ini sebagai sebuah kisah, maka dapat dilihat bahwa pada akhirnya tokoh Kau tidak bertahan lama hidup di dunia (setidaknya di dunia si Aku). Tokoh Kau pergi meninggalkan tokoh Aku yang melanjutkan hidup dengan sekoper kenangan akan tokoh Kau yang masih tetap hidup dalam tokoh Aku.

Aku jadi sering marah-marah soal kehidupan, keadilan, dan pengandaian. Seandainya Kau belum mati, seandainya sebelum mati Kau tidak meninggalkan jejak dalam diri Aku sehingga Aku dapat melanjutkan hidup tanpa baying-bayang Kau. Seandainya Aku lebih dahulu mati daripada Kau. Seandainya…

Hidup dengan Bayang-bayang Masa Lalu

Kata orang, kematian itu sangat menyakitkan. Katanya, ketika ruh dicerabut dari raga kita, akan ada rasa sakit luar biasa yang tidak pernah dapat dibayangkan sebagai rasa sakit mana pun di dunia.

Akan tetapi, hidup dengan raga yang mati juga terasa seperti kesia-siaan. Bagaimana tidak? Kehidupan terus berjalan, bergulir di sisi-sisi manusia-manusia yang tanda-tanda hidupnya adalah napas yang keluar masuk lubang hidung—dan sisanya adalah kehampaan.

Dan tidakkah lebih berbahaya, manusia yang hidup dengan nurani yang mati? Tidak akan ada lagi belas kasih, keadilan, dan hal-hal lain yang kini telah biasa menjadi tuntutan.

Hidup dengan bayang orang yang mati? Tak ubahnya kesengsaraan, seperti sepenggal kutipan yang Aan tulis berikut ini.

“hari ini aku yang tanpa nama berjalan terkatung-katung di antara jutaan aku tanpa nama lain membawa cinta yang marah dan pisau ke mana-mana

sambil memikirkan semua rencana yang pernah kau katakan, semua janji yang pernah kau sumpahkan, semua cita-cita yang masih rencana, yang masih janji, yang masih cita-cita”

Mengenang boleh jadi adalah keniscayaan bagi siapa saja yang ditinggalkan. Boleh jadi pula, kenangan-kenangan tersebut menumpuk, menjadi penuh sesak, menuntut ruang yang banyak pada jiwa hidup yang telah menyuai-pupukkan kenangan tersebut menjadi subur. Persoalan selanjutnya yang akan muncul adalah: bagaimana melanjutkan hidup dengan kenangan yang telah menjadi ladang?

Bagikan ke Sekitarmu!
Buku Merah Berjudul Cinta yang Marah