Mengapa bahasa jadi merepotkan sekali? Bukankah asalkan sama-sama saling memahami, semua boleh saja dilakukan? Mengapa jadi ribut hanya karena persoalan “di mana” dan “dimana”?

Pengertian yang salah kaprah ini sangat perlu untuk diluruskan. Betul bahwa bahasa sebagai alat komunikasi memiliki tujuan asal saling mengerti, maka tidak masalah bagaimana pun bentuknya. Akan tetapi, seiring pada perkembangannya, bahasa memiliki aturan-aturan tertentu, yang dibuat oleh kelompok tertentu untuk membedakannya dengan kelompok yang lain. Pada saat itulah fungsi bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi, melainkan juga identitas bagi kelompok bahasa. Sebagai contoh, bangsa Indonesia punya tersendiri bernama bahasa Indonesia.

Nah, seperti halnya seluruh bahasa yang ada di dunia, bahasa Indonesia juga punya aturan tertentu, salah satunya diatur dalam sistem ejaan. Di Indonesia, sekurangnya sudah 6 kali ejaan diganti dan disesuaikan seiring perkembangan zaman.

Pada awalnya ejaan yang digunakan bangsa Indonesia disebut Ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini meliputi ejaan huruf oe, seperti kata “oeang” untuk mengeja “uang”. Menurut sejarah, ejaan ini merupakan peninggalan masa kolonial. Oleh karena saat itu bangsa Indonesia sudah merdeka, semua bersepakat bahwa sudah saatnya Indonesia mandiri dan punya ejaan sendiri, terlepas dari hal-hal yang berkenaan dengan bangsa penjajah. Berkenaan dengan hal itu, maka, pada tahun 1947 diresmikan ejaan baru yang disebut Ejaan Republik.

Ejaan Republik dikenal juga dengan Ejaan Soewandi sebagai sang pengusung dan menyusun ejaan baru untuk bangsa Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada saat itu. Pada ejaan ini, sebutan oe sudah tidak lagi digunakan dan diganti menjadi u. Lantas, apa hubungan ejaan ini dengan sulitnya masyarakat membedakan mana yang benar antara “di mana” dan “dimana”?

Perlu diketahui bahwa selain mengubah ejaan “oe” menjadi “u” Ejaan Soewandi mengatur hal lain, salah satunya adalah tidak membedakan antara “di-“ sebagai kata depan dan “di-“ sebagai awalan. Jika mengikuti ejaan tahun 1947 tersebut, maka jawaban yang tepat dari pertanyaan: “di mana” atau “dimana” adalah “dimana”.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya bahasa, ternyata untuk “di-“ sebagai kata depan dan “di-“ sebagai awalan harus dipisahkan karena dapat menimbulkan ketaksaan (ambiguitas) untuk beberapa kata yang punya 2 makna berbeda ketika “di“-nya dipisah dan disambung.

Contoh: “dikali” dan “di kali”

  • Dua  dikali dua belas sama dengan dua puluh empat.
  • Dua bebek mandi di kali.

Contoh (i) merupakan contoh kata “di-“ sebagai awalan untuk kata “kali” yang berarti ‘penggandaan atau perbanyakan’. Dalam hal ini, “di-“ berfungsi membentuk kata kerja.

Contoh (ii) merupakan contoh “di-“ sebagai kata depan untuk kata “kali” yang berarti lokasi, pengganti kata benda ‘sungai’. Dalam hal ini, “di-“ berfungsi sebagai kata depan penunjuk lokasi.

Oleh karena adanya kata seperti contoh di atas maka penting untuk membedakan “di-“ yang disambung dengan “di-“ yang dipisah. Masih banyak, lho, contoh serupa seperti “dibalik” dan “di balik”, “dipenjara” dan “di penjara” yang punya makna berbeda ketika “di”-nya digabung dan dipisahkan.

Oleh karena itu, sejak adanya Ejaan yang Disempurnakan (EYD) serta yang terbaru Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), ditetapkan bahwa “di-“ sebagai awalan pembentuk kata kerja harus dipisahkan dengan “di-“ sebagai kata depan. Maka kini, jika ditanya mana yang lebih tepat: “di mana” atau “dimana” maka yang tepat adalah “di mana”. Alasannya? Kata “di-” yang menempel pada “di mana” berfungsi sebagai kata depan, bukan kata kerja.

Mudah-mudahan penjelasan ini cukup. Intinya, kalau kamu masih menggunakan “dimana” berarti kamu masih belum move on dari Ejaan Soewandi yang sudah lama ditinggalkan. Kalau sudah ada yang baru dan sudah disempurnakan, mengapa masih memilih yang lama untuk digunakan? Yuk, mulai biasakan gunakan “di mana”, bukan “dimana”.

#KamisBahasa

[Hanung W L/ Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Inilah Alasan Sulitnya Membedakan “di mana” dan “dimana”