“Kalo mau gampang, ya, enak jadi passenger-lah! Nggak perlu repot lihat jalan. Tinggal duduk manis sampai tujuan.”

Dear, kidz zaman now, kamu serius dengan pendapat itu? Yakin kamu lebih memilih menjadi passenger daripada driver?

TUBUH manusia layaknya sebuah kendaraan yang berfungsi untuk mengantarkan pengemudi dan penumpangnya sampai dengan selamat ke tempat yang dituju. Perjalanan tersebut tentu saja tidaklah selalu mudah, karena “kendaraan” tersebut harus berlomba dengan “kendaraan” lain serta menemui berbagai kendala yang mampu menghambat tujuan awal perjalanan.

Keberadaan pengemudi sangat menentukan apa yang akan dihasilkan serta sejauh mana pencapaian kendaraan tersebut melaju. Apakah si pengemudi bermental professional driver atau bad driver, atau malahan hanya memiliki mental passenger dan lebih parah lagi seorang bad passenger.

Kemampuan dan mental pengemudi sendiri dapat diubah dan ditingkatkan kemampuannya setiap saat. Karena pada dasarnya setiap manusia yang telah dewasa dan sehat jiwa raganya merupakan pemegang mandat kehidupan dari Tuhan. Mandat untuk menjalani kehidupan tersebut berhubungan dengan kendaraan yang dipinjamkan Tuhan selama kehidupan berlangsung dan kita namakan self (diri), yaitu yourself.

Kehadiran buku berjudul lengkap Self Driving; Menjadi Driver atau Passenger? ini selain memetakan tipe dan ciri mental seseorang juga menawarkan sebuah konsep yang praktis bagaimana merevolusi mental passenger menjadi great driver sehingga bukan hanya mampu menjalankan mandat Tuhan, namun juga menselaraskan dan merawatnya dengan baik.

Pada akhirnya, ketika individu bermental driver sudah banyak lahir maka akan membentuk sebuah komunitas, perusahaan bahkan bangsa yang hebat. Karena bangsa yang hebat adalah a driver nation yang hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi driver, yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan, dan pemimpin-pemimpinnya sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan. (Halaman 7)

Driver adalah sebuah sikap hidup yang membedakan dirinya dengan passenger yang hanya tinggal memilih, duduk manis menjadi penumpang di belakang. Sebaliknya, seorang driver bisa hidup di mana pun mereka berada, dan selalu menumbuhkan harapan. Bila passenger menjadi kerdil karena terbelenggu oleh settingan otak yang tetap, maka seorang driver akan selalu tumbuh.

 

Judul Buku  : Self Driving; Menjadi Driver atau Passenger ?
Penulis        : Rhenald Kasali
Penerbit      : Mizan
Cetakan      : I, 2014
Tebal          : 272 Halaman

“Seorang driver bukanlah sopir dalam arti sebenarnya seperti yang sering kita saksikan: sopir metromini, sopir angkot, atau sopir truk. Mereka berada di sana (menjadi self driver) bukan karena tak memiliki pilihan untuk hidup yang lebih baik, melainkan karena kesadaran bahwa sesuatu hanya akan menjadi lebih baik bila Anda sendiri yang mengubahnya.” (Halaman 42)

Berubah berarti memperbaiki diri dan memperbaiki kehidupan. Sehingga untuk melakukannya memerlukan alat atau senjata yang dipegang seorang driver berupa prinsip. Ada empat prinsip utama yang harus dimiliki seorang driver; inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab.

Inisiatif berarti berani mengambil langkah berisiko, responsif, dan cepat membaca gejala. Melayani bermakna orang yang berpikir tentang orang lain, mampu mendengar, mau memahami, peduli, dan berempati. Navigasi ialah sosok yang memiliki keterampilan membawa gerbong ke tujuan. Dan tanggug jawab artinya tidak menyalahkan orang lain, tidak berbelit-belit atau menutupi kesalahan diri sendiri.

“Selain keempat prinsip di atas, untuk menjadi seorang great driver memerlukan tiga latihan lainnya untuk membentuk cara berpikir yang baik. Ketiga cara tersebut adalah; pertama, creative thinking, yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah baru, masa-masa sulit atau jalan buntu yang membuat kita terkurung.” (Halaman 189)

Kedua, critical thinking atau berpikir kritis untuk melatih kita dalam memeriksa kebenaran. Karena manusia yang kreatif namun tidak melatih diri atau dilatih menjadi kritis, dalam ligkungan pendidikan yang dogmatis dan religius, misalnya, akan kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi. Sehingga sangat rentan menjadi korban manipulasi.

“Ketiga, growth mindset atau pemikiran yang terus tumbuh. Orang-orang yang memiliki cara berpikir seperti ini umumnya adalah mereka yang memiliki low self monitor. Mereka bekerja atau melakukan sesuatu bukan karena diperhatikan orang lain, bukan demi pencitraan, melainkan didorong sebuah kekuatan besar dari dalam jiwanya untuk melayani.” (Halaman 238)

Buku setebal dua ratus tujuh puluh dua halaman ini lahir sebagai hasil renungan dan akumulasi pengetahuan Rhenald Kasali, penulisnya, yang dikembangkan selama lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai pendidik sekaligus sebagai praktisi manajemen. Meski konsepnya telah ada sejak tahun 2010, namun draft-nya benar-benar selesai dan layak menjadi buku baru pada tahun 2014.

Mengubah mentalitas seseorang, apalagi mentalitas sebuah perusahaan dan suatu bangsa, bukanlah perkara mudah. Namun tentunya bukan pula hal yang mustahil. Melalui buku ini Rhenald bermaksud untuk memperbaharui cara berpikir para pembaca, melatih kembali Sumber Daya Manusia (SDM), membersihkannya dari benang-benang kusut yang kini tengah menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. (novalkunmaliki)

(Sumber: Koran Sindo, 4 januari 2015)

Bagikan ke Sekitarmu!
Kamu Mau Jadi Driver atau Passenger?