Dunia sastra kembali berduka. Sastrawan Danarto meninggal dunia, kemarin tanggal 10 April 2018. Beliau wafat di usia 77 tahun.

Dalam dunia sastra, Danarto dikenal sebagai seorang cerpenis. Masih ingat buku Godlob, kumpulan cerpen Danarto yang paling terkenal? Buku itu masih dicetak ulang hingga hari ini, sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1975. Di dalam buku tersebut, ada satu kisahan yang mengangkat tema kematian, yakni cerpen “Sandiwara atas Sandiwara”.

“Iring-iringan jenazah itu berjalan gontai, seperti rombongan koor yang sedang menyanyikan lagu tentang angin atau pemujaan. Untuk orang terkenal seperti dia iring-iringan itu tidak begitu banyak benar. Tetapi cukup khidmat.

Semua tampak tenang. Beberapa orang penting, beberapa kenalan, dan beberapa simpatisan teman sendiri. Ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang makam, tersebarlah bau dauh cemara yang sedap dan sejuk yang dibawa angin dari sebuah lembah kecil pohon-pohon cemara yang letaknya di atas tanah kuburan itu. Bunga-bunga liar tersebar di antara gundukan-gundukan dan bangunan-bangunan kuburan.

Kemudian peti jenazah itu diturunkan dan beramai-ramai orang menimbuninya dengan tanah dan ditaruhkan di atasnya bunga-bunga. Sejenak suasana lengang. Seorang sahabat dari yang dikuburkan itu kemudian berbicara, “Yang dikuburkan ini adalah seorang sahabat yang kemarin masih bercakap-cakap dengan kita. Sekarang ia sudah bersendiri di dalam lubang gelap dan dingin. Betapa waktu berjalan cepat.” (potongan cerpen “Sandiwara atas Sandiwara”, hal. 55-56)

Entah mengapa seperti pada kalimat terakhir dalam tulisan itu, semua yang terjadi pada Danarto terasa begitu cepat. Kepergian Danarto yang begitu mendadak akibat kecelakaan lalu lintas yang dialaminya di dekat UIN, Ciputat, Banten. Saat itu Danarto mengalami luka yang parah di bagian kepala, dan setelah dilarikan ke rumah sakit terdekat, nyawa Danarto tak dapat diselamatkan. Danarto pergi meninggalkan dunia pada hari Selasa, 10 April 2018 sekitar pukul 20:45. 

Danarto dan Pembaharuan Cerpen Indonesia

Danarto dikenal sebagai cerpenis yang piawai memainkan “gaya baru” yang tidak ada pada cerpen-cerpen Indonesia sebelumnya. Para sastrawan juga memuji karya-karya Danarto sebagai sebuah pembaharuan yang patut untuk diapresiasi.

“Jika Pramoedya Ananta Toer mata kanan kita, maka Danarto adalah mata kiri kita. Danarto adalah seorang pembaharu. Seorang master.” Harry Aveling

Hal ini terbukti dalam setiap karya yang diramu Danarto. Seakan-akan, selalu ada daya magis yang membuat pembaca bertanya-tanya sekaligus terkagum-kagum bahwa karya sastra dapat begitu apik mengalir di tangan Danarto. Unsur “kepatuhan” yang biasa ada di dalam cerpen seperti tak bisa menyaingi kuasa Danarto sebagai penciptanya.

“Cerita-cerita Danarto adalah parodi. Dalam parodinya, yang diejek terutama sastra itu sendiri. Cerita Danarto telah mengejek genrenya sendiri.” Sapardi Djoko Damono

Apa yang dimaksud Sapardi tentu adalah “mengejek” dalam arti “membawa pembaharuan” tersediri dalam sebuah cerpen. Godlob, sebagai karya pertama sekaligus karya yang paling terkenal sudah barang tentu menjadi contoh konkret dari hal tersebut.

Selain Godlob (1975), Danarto juga menghasilkan beberapa beberapa buku kumpulan cerpen lain yang berjudul Adam Ma’rifat (1982), Orang Jawa Naik Haji (1983), Berhala: Kumpulan Cerita Pendek (1987) Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000), dan Kacapiring (2008).  Selain cerpen Danarto juga menulis novel yang salah satunya berjudul Asmaraloka (1999).

Mengenai prestasi di bidang sastra, Danarto juga tak surut dari penghargaan-penghargaan. Di antaranya adalah penghargaan atas kumpulan cerpennya yang berjudul Adam Ma’rifat. Buku tersebut memenangkan Hadiah Sastra 1982 Dewan Kesenian Jakarta dan Hadiah Buku Utama 1982. Selanjutnya, pada tahun 2009 Danarto juga menerima Ahmad Bakrie Award untuk bidang kesusasteraan.

Apa pun yang tertulis di sini barangkali belum cukup menggambarkan bagaimana Danarto membawa pembaharuan dalam kesusastraan Indonesia. Kamu harus mengalaminya sendiri, membaca semua karya Danarto dan memahami (atau tidak memahami? Bukankah ini menjadi sebuah pencapaian tertinggi dalam karya sastra?) seluruh karya yang telah Danarto tuliskan, dan kini telah menjadi bagian dari kenangan yang lebih abadi dari raganya.

“Pada suatu hari manusia akan kehilangan sesuatu yang paling dicintainya.” 

(Danarto dalam cerpen “Sandiwara atas Sandiwara”, hal. 81)

Maka sampailah pada hari ini, hari saat kami semua kehilanganmu. Selamat jalan, Danarto. Selamat menuju ke tempat yang lebih abadi. Terima kasih untuk semuanya, karyamu akan kami kenang selalu.

[Hanung W L/Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Kepergian Mendadak dari Sastrawan Danarto