Rabu 17 Juli 2019 kemarin, media sosial twitter diramaikan dengan keberadaan cetak harian Kompas yang mengalami kesalahan teknis dalam penulisan. Di bagian kolom headline koran tersebut masih tertulis lorem ipsum. Lorem ipsum sendiri adalah teks standar yang ditempatkan untuk presentasi visual seperti font, tipografi dan tata letak. Lorem ipsum bisa diartikan juga sebagai tulisan sementara dalam isi layout desain.
Mungkin hal ini wajar terjadi dalam dunia penerbitan, tapi saat yang mengalami salah cetak harian dengan tiras terbesar di Indonesia dan di halaman muka, maka hal ini langsung menjadi perhatian dari para pembacanya, khususnya di kalangan dunia penerbitan. Lorem Ipsum langsung menjadi trending topic di twitter dan platform sosial media lainnya. Kompas mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf melalui akun-akun sosial medianya.
Terima kasih atas masukan Anda, para pembaca Kompas semua. Terdapat keteledoran pada edisi Rabu (10/7/2019) bagian beranda sehingga tampak seperti di bawah ini.
Kesalahan ini tidak kami sengaja dan kami berharap tidak terulang lagi di masa mendatang. pic.twitter.com/J8p9HOpgDW
— Harian Kompas (@hariankompas) July 10, 2019
Twitter/Kompas.com
Salah Cetak: Strategi Marketing atau Murni Kesalahan?
Ada beberapa sentilan yang mengatakan bahwa ini hanyalah salah satu strategi marketing untuk menaikkan tiras Kompas. Siang harinya, Kompas mengumumkan permintaan maafnya sekaligus memberikan diskon untuk pembelian di gerai Kompas.id yang akan berlaku hari ini. Wah, ternyata tanggapan Kompas atas “kekhilafan”-nya cukup cepat: permintaan maaf dan diikuti dengan promosi pembelian produk yang sangat disenangi oleh pembaca.
Kejadian ini, menjadi salah satu contohnya nyata bentuk digitalisasi dan derasnya arus informasi yang beredar saat ini. Rhenald Kasali dalam bukunya berjudul #MO menyoroti tentang dunia digital, dunia baru yang menumbangkan banyak pemain lama.
Salah satu yang dibahas adalah banyaknya media cetak yang kalah oleh media digital. Dalam 2 tahun terakhir, semakin banyak koran atau majalah yang tutup ataupun beralih ke media online, sebut saja Tabloid Bola yang kini hanya tersedia dalam media online.
Rhenald Kasali juga menyebutkan bahwa saat ini ada strategi marketing baru dengan cara menarik perhatian dari crowd, dalam hal ini masyarakat. Misalnya, melalui pesan WA yang belum jelas kebenarannya, misalmerek Biskuit bisa disebut haram padahal belum tentu hal tersebut benar. Tapi karena ini merupakan pesan bergulir dan kebanyakan orang malas mencari tahu yang sebenarnya, hal tersebut akan dianggap benar di masyarakat.
Hal ini cukup menarik, karena memang benar saat ini hampir segala sesuatu yang kita baca di sosial media dianggap sebagai kebenaran. Hampir setiap hari ada Tagar (#) yang menjadi perhatian seluruh masyarakat, tren cepat berganti, popularitas lebih mudah diraih. Dalam bukunya Rhenald Kasali menyebut hal ini sebagai #MO: Mobilisasi dan Orkestrasi. Cari tahu lebih banyak tentang #MO, dapatkan bukunya sekarang juga di Mizanstore.com.
Kompas : Bertahan di Era Digital
Apa yang dilakukan oleh Kompas pada 10 Juli ini seirama dengan strategi dalam dunia baru ini. Menarik perhatian masyarakat, menjadi pergunjingan (trending topic) dan sebagai timbal baliknya Kompas berbaik hati memberikan diskon 1 hari, yang tentunya hal ini seharusnya akan meningkatkan penjualan. Bukankah hebat, apabila dari suatu kesalahan kecil malah bisa menghasilkan keuntungan.
Namun, bukan berarti yang Kompas lakukan adalah sebuah strategi pemasaran, tapi bentuk apresiasi kesigapan Kompas dalam mengatasi situasi ini. Situasi kacau yang bisa diubah menjadi keuntungan. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang cerdas dan tanggap dalam menghadapi dunia baru.
Melati/Expose.id