Mengapa saya menulis buku Mengenal Filsafat Islam (juga buku Mengenal TasawufSains “Religius”, Agama “Saintifik”dan mungkin juga buku-buku ringkas yang lain)?

Pertama, memang kemampuan saya hanya sebatas membuat buku-buku ringkas semacam ini. Saya bukan ahli filsafat, bukan pula ahli Islam. Pengetahuan saya tentang kedua bidang ini, paling jauh, tanggung. Saya memang pernah kuliah di S-2 IAIN Syarif Hidayatullah. Saya pun kemudian belajar filsafat Islam ketika mengambil gelar master saya dari Center for Middle eastern Study Harvard University, dan melanjutkannya dalam studi S-3 saya.

Tetapi, terlalu banyak yang saya belum tahu, beberapa di antaranya malah isu-isu yang mendasar, dari induk segala ilmu ini. Juga, betapapun besarnya manfaat yang saya peroleh dari institusi-institusi ini, dan betapapun sudah sejak muda saya tertarik pada studi agama, keterlibatan akademik saya di bidang ini datang terlambat.

Minat dan studi saya pada filsafat Islam apalagi. Ia malah benar-benar baru mampir ke dalam diri saya pada saat saya memulai kuliah di S-2 IaIn itu. (Dan untuk ini, ungkapan terima kasih perlu pertama kali saya sampaikan kepada Allâh yarham Bapak Prof. Dr. Harun Nasution yang, lewat kuliah Pengantar Filsafat Islam dan kengototannya kepada disiplin keislaman yang satu ini, telah menyemaikan minat saya di bidang ini.)

Kedua, Anda mungkin tak segera percaya, memang amat besar keyakinan saya akan pentingnya filsafat dikembangkan—persisnya dikembalikan lagi—di pangkuan peradaban Islam. Argumentasi saya mengenai hal ini saya paparkan secara panjang lebar dalam beberapa bab buku ini.

Saya berharap, lewat suatu buku yang ringkas dan populer—tentang ilmu yang ditakuti kebanyakan orang ini—di samping lewat seminar-seminar dan kursus-kursus yang sebagiannya saya ikut terlibat di dalamnya—kecintaan orang kepadanya akan tumbuh. Karena, seperti akan dapat dibaca, filsafat Islam bukanlah suatu bid‘ah yang bisa menyesatkan.

sumber: https://mizanpublishing.com/

Filsafat Islam, setidak-tidaknya menurut saya, berangkat dari jantung peradaban Islam. Ketiga, jika bisa diungkapkan secara populer, rasa takut akan kesulitan mempelajarinya akan bisa dikurangi. (Saya yakin bahwa citra kesulitan filsafat sesungguhnya muncul karena filsafat, setidak-tidaknya selama beberapa abad belakangan ini, diasingkan dari peradaban Islam. Padahal, jika saja ia diajarkan sejak dini sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, ia akan tampil sama sulit—atau sama mudah—dibanding ilmu-ilmu lain itu.)

Saya, after all, selalu memandang diri saya bukan sebagai ahli filsafat, bahkan bukan calon ahli, melainkan sekadar sebagai seorang pekerja di bidang filsafat Islam. Kalau keinginan saya untuk menimbulkan minat kaum Muslim terhadap filsafat dapat menciptakan hasil sesedikit apa pun, kiranya saya memandang tugas saya sudah tertunaikan. Biarlah nantinya menjadi tugas generasi baru yang lebih berkualitas untuk benar-benar bisa mengembangkan filsafat Islam ke tingkat yang lebih jauh.

Sedikit catatan perlu saya berikan mengenai makna filsafat Islam yang saya pergunakan dalam buku ini. Meski sebenarnya suatu garis yang tajam tak bisa ditarik, istilah filsafat Islam yang dipergunakan dalam buku ini dibatasi pada makna tradisionalnya. Yakni, filsafat Islam peripatetik (masysyâ’iyyah), iluminisme (isyrâqiyyah), dan transendentalisme (teosofi transenden atau al­hikmah al­muta‘âliyah) seperti akan dibahas dalam Bab 2.

Namun, karena filsafat Islam “tradisional” tersebut masih berkembang dan hidup sampai sekarang, buku ini juga akan membahas secara ringkas pemikiran Islam modern yang berkembang terutama mulai akhir abad ke-19 hingga sekarang, di bawah pengaruh modernitas.

Kiranya juga perlu ditegaskan bahwa, di luar rangkaian filsafat Islam “tradisional” yang dibahas dalam buku ini, masih terdapat pemikiran-pemikiran yang sama layaknya untuk dimasukkan ke dalam pembahasan filsafat Islam, yang seringkas ini sekalipun. Termasuk di dalamnya pemikiran para filosof yang biasa disebut sebagai minor philosophers, seperti abu Al-Barakat Al-Baghdadi, Abu Al-Hasan Al-‘Amiri, dan Abu Sulaiman Al-Sijistani—di samping juga Syah Waliyullah al-Dahlawi, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan banyak lagi filosof Muslim yang lain.

Sifat-ringkas buku ini dan, terutama, keterbatasan pengetahuan penulislah yang menghalangi pemuatannya ke dalam buku ini. (Khusus tentang orang-orang yang disebut sebagai “minor philosophers” ini, saya hendak mengajak para pembaca yang berminat untuk menikmati uraian rekan saya, Sdr. Mulyadhi Kartanegara yang memang secara khusus mempelajari pemikiran-pemikiran mereka.)

Satu catatan pengantar lain perlu juga saya berikan di sini. Sebagaimana lazimnya, filsafat Islam juga dibagi ke dalam dua bagian besar: filsafat teoretis (al­hikmah al­nazhariyyah) dan filsafat praktis (al­hikmah al­‘amaliyyah). Filsafat teoretis berurusan dengan segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan kata lain, ia berupaya mengetahui hakikat segala sesuatu, yakni sifat-sifat atau ciri-ciri yang menjadikan sesuatu menjadi sesuatu itu.

Bukan tidak pada tempatnya jika di sini, untuk menjelaskan hal ini, saya kutipkan doa Rasulullah agar Allah “mengaruniakan pengetahuan tentang segala sesuatu (asy­yâ’) sebagaimana adanya (ka mâ hiya)”. Termasuk dalam bidang kajian filsafat teoretis ini adalah ontologi (kajian tentang “ada” [wujud]) dan epistemologi (kajian tentang sumber-sumber, batas-batas, dan cara-cara memperoleh pengetahuan).

Sementara itu, filsafat praktis mempelajari sesuatu sebagaimana seharusnya, berangkat dari pemahaman tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Yang (secara tradisional) termasuk di dalam lingkup filsafat praktis ini adalah etika, politik, dan ekonomi.

Versi lain, yang lebih tradisional, membagi filsafat teoretis ke dalam kotak-kotak fisika (tha bî‘iy yah) yang mempelajari segala sesuatu yang mengambil ruang dan bergerak (dalam waktu), dan metafisika yang mempelajari segala sesuatu yang berada di balik fisika (meta ta phusyka atau mâ ba‘d al­thabî‘ah).

Namun, untuk keperluan praktis, pengantar ringkas terhadap filsafat Islam ini akan mengikuti pembagian filsafat teoretis menurut taksonomi modern, yakni sepanjang bidang ontologis dan epistemologis. Selebihnya, dua judul akan didedikasi kan khusus untuk memaparkan secara ringkas filsafat etika dan politik Islam, sebagai dua menu filsafat praktis.

Sebagian bahan yang termuat dalam buku ini pernah terbit dalam bentuk makalah, artikel, atau kata pengantar untuk beberapa buku. Meskipun demikian, selain sudah diedit dan ditambahkurangi di sana-sini, bahan-bahan tersebut ditempatkan dalam konteks yang sama sekali baru sesuai dengan sistematika buku ini.

Kini tiba pikiran saya untuk menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan saya yang membantu perwujudan buku ini, termasuk Sdr. Hernowo—sobat saya—dan Sdri. Dwi Irawati yang dengan penuh ketelitian, kecermatan, dan kesabaran, menata bagian-bagian yang masih terserak dan kurang lengkap di sana-sini hingga menjadi buku yang utuh seperti yang ada di tangan pembaca ini. Juga kepada Sdr. Baiquni, rekan kerja saya, seorang editor yang andal, yang telah meneliti dan melengkapi berbagai kekurangsempurnaan buku ini.

Akhirnya, rasa terima kasih saya kepada kedua orangtua saya—guru-guru pertama saya, sampai kapan pun—istri saya dan anak-anak saya yang, selain juga selalu menjadi sumber atau setidak-tidaknya cermin untuk memantulkan banyak kebijaksanaan, telah memberikan ruang yang cukup bagi saya untuk bisa melahirkan karya ini dan karya-karya lain saya, betapapun sederhananya. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang tak henti memberikan ampun, penjagaan, dan petunjuk-Nya bagi kebahagiaan mereka semua, sekarang dan kelak. Dan semoga Allah Swt. mencatat buku penuh kekurangan ini sebagai amal saya di jalan-Nya.[]

 

sumber: https://mizanpublishing.com/Prakata-Haidar-Bagir-di-dalam-Buku-Mengenal-Filsafat-Islam

Bagikan ke Sekitarmu!
PRAKATA HAIDAR BAGIR DI DALAM BUKU MENGENAL FILSAFAT ISLAM