Mereka-reka “Mazhab” Mizan: Sebuah Upaya “Soul Searching”*

Haidar Bagir

Sebenarnya, sejak lebih dari setahun yang lalu, sudah ada rencana untuk menandai momen ulang tahun Mizan yang kami anggap cukup istimewa ini—ulang tahun ke-20—dengan menerbitkan sebuah buku kecil yang memuat semacam prinsip-prinsip pemikiran keislaman yang melatarbelakangi “mazhab” penerbitan Mizan. Sekalian, buku ini kami rencanakan dapat menjadi acuan bagi sebuah acara “pengadilan” terhadap Mizan yang ren­cananya kami juduli “Menimbang Mizan”. Seminar tersebut direncanakan menghadirkan baik kelompok yang ber­sikap apresiatif terhadap Mizan, maupun yang kritis. Tentu saja, ketika menyebut “mazhab”, tak pernah terpikir di benak kami bahwa Mizan benar-benar menawarkan mazhab baru dalam pemikiran Islam. Malah, pada awalnya, sebenarnya kami hanya ingin berbangga-bangga, sekadar untuk mene­gaskan adanya suatu sense of mission dan lebih mengkristalkan l’espirit de corps secara intern bahwa kehadiran kami telah setidaknya meniupkan hawa baru—betapapun sepoi-sepoi­nya—dalam wacana pemikiran keislaman di negeri ini.

Sudah tentu, istilah “mazhab” yang kami pakai di sini tak ada hubungannya dengan pengelompokan di sepanjang garis-garis akidah dan fiqih di kalangan umat Islam, sema­cam Sunni, Syi‘ah, dan sebagainya. Yang kami maksud dengan istilah ini semata-mata adalah cara pandang —lin­tas mazhab, tentu saja— terhadap ajaran-ajaran Islam pada umumnya. Dengan kata lain, ia lebih menunjuk kepada semacam kacamata tafsir terhadap ajaran-ajaran umum Islam. Di dalamnya termasuk semacam metodologi yang dipakai untuk mendekati ajaran-ajaran Islam.

Nah, setelah semacam TOR “mazhab Mizan” disusun bersama-sama, dan beberapa penanggung jawab ditunjuk, tak banyak kemajuan dicapai karena para penanggung jawab itu se­sungguhnya sudah amat sibuk mengejar target-target produksi rutin untuk bisa ditambah dengan beban baru ini. Kami pun pernah bermaksud meng-“order”-kannya kepada seorang penulis yang kami percayai mampu melakukannya dengan baik. Tapi, belakangan penulis ini pun terpaksa mengundurkan diri akibat kesibukan-kesi­bukan pribadinya.

Sebelum lebih jauh, perlu saya sampaikan di sini bahwa sebenarnya penggunaan istilah “mazhab” bagi jenis pemikiran yang merupakan alur utama pemikiran keislaman dalam buku-buku yang diterbitkan Mizan selama ini bukan­lah semata-mata hasil kebanggaan kami belaka. Pernah, dalam sebuah diskusi di Yayasan Muthahhari lebih dari 10 tahun yang lalu, Sdr. Azyumardi Azra (atau Komarud­din Hidayat?) melontarkan istilah ini. Sementara itu, ketika suatu kali saat berbicara di Masjid Al-Azhar berkenaan de­ngan isu Islam Liberal bersama Sdr. Ulil Abshar Abdalla dan Sdr. Hartono Ahmad Jaiz, seorang hadirin menyebut paparan saya—yang mengapresiasi dan mengkritik Islam Liberal sekaligus—sebagai Islam mazhab tengah. Kiranya ini sejalan dengan komentar Sdr. Putut Widjanarko ketika menyebut artikel saya yang berjudul “Andai Aku Seorang Muslim Li­beral”—yang merupakan makalah saya bagi Diskusi KKA Paramadina mengenai isu Islam Liberal juga (bersama Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Dawam Rahardjo, dan Dr. Nurcholish Madjid)—sebagai telah menegaskan “mazhab” tengah Mizan. Dengan cara yang berbeda-beda, tak sedikit peng­amat dan media massa menunjuk kehadiran Mizan sebagai telah menawarkan suatu atmosfer baru dalam pemikiran Islam lewat buku-buku yang diterbitkannya.

Berbagai pandangan orang terhadap Mizan itu men­dorong kami untuk berpikir: sesungguhnya apa yang mem­be­dakan cara pandang Mizan terhadap Islam, sebagai­mana tampak dalam seleksi judul-judul buku yang diterbit­kannya, dengan yang lain? Diungkapkan secara lain, apa hakikat “mazhab” Mizan itu? Tapi, sebelum itu, sebuah peme­riksaan perlu dilakukan. Mizan adalah sebuah pener­bit. Tak lebih dan tak kurang. Nah, adakah mungkin, dan bisakah dibenar­kan, jika sebuah penerbitan memiliki sebuah “mazhab”, atau kecenderungan khas terhadap cara pan­dang tertentu mengenai Islam? Bisa jadi ada yang membe­nar­kan, bisa jadi tidak. Kenyataannya, sebuah penerbit yang serius, yang memandang dirinya bukan sekadar sebagai pedagang buku yang didorong semata-mata oleh motif bisnis (percaya atau tidak, begitulah kami memandang diri kami sejak awal), biasa memiliki kecenderungan ini. Disadari atau tidak. Lagi pula, setidaknya, menurut Ziauddin Sardar, dalam buku­nya berjudul Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Infor­masi, yang kami sendiri juga yang menerbitkannya pada 1988, penerbit Islam mesti bertindak seperti Dewa Janus, dewa penjaga kuil yang memiliki dua kepala ini, salah satu­nya memandang ke dalam untuk terus mengamati segala sesuatu yang terjadi di lingkungan kuil yang dijaga­nya, dan yang satu lagi memandang ke luar untuk mengawasi apa-apa atau siapa-siapa yang mungkin masuk melewati ger­bang itu. Dengan kata lain, mengizinkan yang memang layak masuk—yakni yang memang diperlukan dan dipandang baik bagi para penghuni—kuil itu, dan mencegah yang tak layak. Jika pendapat Sardar ini kita terima, sebuah penerbit bukan saja boleh, malah sudah seharusnya me­miliki suatu kecenderungan pemikiran sedemikian.

Kembali kepada pertanyaan tentang apa sih sebe­narnya kecenderungan  “mazhab” Mizan terhadap pemi­kiran Islam? Sejak memilih nama Mizan, tujuan sebenarnya sudah kami pancangkan. Kami hendak berpartisipasi dalam me­nyajikan informasi tentang pemikiran dan Dunia Islam dari berbagai sudut pandang. Kriterianya satu, yakni bahwa informasi itu harus ditulis secara bertanggung jawab sesuai dengan standar keilmuan dan kami anggap bisa bermanfaat dalam menyumbang bagi perbaikan kiprah umat Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamîn (rahmat bagi semesta alam). Selebihnya, para penulis boleh berasal dari mazhab dan aliran pemikiran mana pun, bahkan dari kalangan luar Islam—entah itu orientalis, penulis non-Muslim, dan seba­gai­nya. Karena kami sungguh percaya bahwa, seperti kata Nabi Saw., “Perbedaan pendapat di antara (ulama) umatku adalah rahmah.” Demikian pula, kami amat yakin pada sab­danya Saw. juga bahwa: “Hikmah adalah barang-hilang milik kaum Muslim. Pungutlah ia di mana saja kau temui.” Dalam versi lain, Nabi juga menyatakan: “… pungutlah ia dari bejana mana pun keluarnya.” Sayidina ‘Ali, sang Gerbang Kota Ilmu Nabi, pun dikenal luas pernah mengajarkan kepada kita: “Lihat kepada apa yang dikatakan, bukan kepa­da siapa yang mengatakan.” Karena, bagi kami, Islam adalah agama semesta (universal), dan bahwa kesemestaan­nya hanya bisa diraih jika ia dilihat sebagai sebuah agama yang terbuka, yang inklusif. Di sisi lain, kami percaya bahwa segala keterbukaan itu bisa dipeluk sepenuh hati tanpa harus kita mengorbankan Islam di altar­nya, karena kese­mes­taan itu tentunya tetap harus berarti bahwa ajaran Islam harus tetap dipahami secara koheren dan tak kehi­langan prinsip-prinsip dasarnya. Nah, kalaulah ada sesuatu yang disebut sebagai autentisitas suatu agama, maka inilah maksudnya: koherensi. Termasuk di dalamnya tentu saja adalah koherensi dengan makna harfiah teks-teks Islam. Bagi kami, ini berarti bahwa keterbukaan itu mestilah “dikawal”—suatu istilah yang, karena saya gagal menemu­kan penggantinya, dengan berat hati terpaksa saya pakai—oleh keyakinan kita tentang sebuah penafsiran yang ber­tanggung jawab dan reliable atas dasar-dasar ajaran Islam, Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Inilah filosofi di balik pemilihan nama Mizan, yang berarti alat untuk mengukur berat (timbangan). Idenya tentu saja adalah agar, persis seperti anjuran Al-Quran, kaum Mus­lim menjadi ummatan wasathan (kaum pertengahan), agar kami—sebagai penerbit—dan kaum Muslim pada umum­nya, selalu memiliki kesadaran akan keseimbangan dan menge­jar posisi itu.

Nah, seperti apakah, kalau ada, sudut pandang Mizan itu, “mazhab” Mizan itu?

Suatu kali, forward sebuah e-mail melayang ke milis Mizan.  Di bawah ini ia saya muatkan selengkapnya. Ka­rena, meskipun tak sepenuhnya kami setujui, isinya tetap patut diketahui, setidaknya sebagai asbâb al-wurûd (konteks) bagi perumusan “mazhab” Mizan yang akan saya ungkap­kan segera setelah itu:

Ada saat ketika di negeri ini hanya ada dua kutub pemi­kiran Islam yang berkembang, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang beraliran tradisionalis dan militan dan Muham­madiyah yang beraliran modernis dan moderat. Kedua kutub pemikiran ini dahulunya sering berhadapan secara ideologis. Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, permusuhan ideo­logis kedua kubu mulai mencair, bahkan semakin lama sema­kin susah dibedakan mana Muslim yang berasal dari kalang­an NU dan mana yang berasal dari Muhammadiyah. Orang NU tidak sungkan-sungkan lagi shalat berjamaah, ber­kumpul, ataupun berdiskusi dengan orang Muham­madiyah. Begitu pula sebaliknya.

Akan tetapi, mencairnya hubungan NU-Muham­madi­yah ternyata berbarengan juga dengan semakin tersingkirnya pemikiran NU dan Muhammadiyah di kampus-kampus umum akibat iklim represif yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap pergerakan-pergerakan mahasiswa, terutama yang dianggap mengusung ideologi tertentu, termasuk Islam.

Kekosongan ini memberi jalan pada masuknya pergerakan Islam lain yang mengusung pemikirannya masing-masing. Walaupun aliran-aliran yang masuk itu banyak, ia bisa di­ka­­­­tegorikan menjadi dua kutub pemikiran yang secara ideologi saling berhadapan.

Kelompok pertama adalah kelompok Islam “kanan”. Di sini bisa dikelompokkan gerakan-gerakan seperti Tarbiyah (yang berorientasi Ikhwan Al-Muslimun) Hizbut Tahrir, Salafy, dan lain-lain. Kelompok kedua adalah yang biasa diang­gap mengusung mazhab liberal dan progresif. Kelompok pertama biasanya dituduh sebagai Islam fundamentalis-radikal, sedangkan kelompok kedua sering dituduh sebagai sekuler atau Islam kiri.

Kelompok pertama biasanya bergerak di organisasi-organisasi formal keagamaan DKM dan rohis (lembaga keru­hanian). Sedangkan kelompok kedua cenderung jauh dari masjid-masjid dan kegiatan yang bersifat eksklusif ke­agamaan dan bergabung dengan organisasi-organisasi formal kema­hasiswaan di luar kampus, semisal HMI atau PMII, ataupun organisasi-organisasi baru yang dianggap bisa meng­akomo­dasikan kecenderungan mereka.

Dari segi literatur, kelompok pertama cenderung hanya membaca buku-buku keislaman karya ulama dan dari kelom­poknya sendiri. Buku-buku beberapa penerbit tertentu yang memiliki kecenderungan sejenis merupakan buku-buku favorit mereka. Sedangkan kelompok kedua cenderung menyukai wacana-wacana keislaman kritis dan cenderung menentang arus utama, seperti buku/tulisan karya Ali Ashghar, Arkoun, Syahrour, Fatima Mernissi, Taslima Nasreen, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Al-Na‘eem, Syari‘ati, tak ketinggalan karya tokoh dalam negeri, seperti Nurcholish Madjid, Zaitunah Subhan, Masdar F. Mas‘udi, Jalaluddin Rakhmat, K.H. Ibrahim Hosen, dan Wardah Hafidz yang umumnya diterbitkan Mizan, termasuk juga wacana-wacana kiri maupun Syi‘ah teoretik yang kese­muanya merupakan wacana-wacana terlarang bagi kelompok pertama.

Dari segi pemikiran, kelompok pertama cenderung meng­arah ke satu kutub pemikiran saja dan menolak plu­ralisme dengan alasan khilafiyah yang dapat merusak ukhuwah, dan dalam segi ajaran agama lebih cenderung memahami teks-teks keagamaan secara literal serta menolak penyesuaian tafsir teks dengan kondisi yang berkembang; sebaliknya, ma­nusialah yang harus menyesuaikan dengan teks. Selain itu, pemahaman ijmak terbatas semata-mata pada ijmak yang terjadi pada zaman sahabat, yang diang­gap berlaku se­pan­jang zaman, dan menolak ijmak yang di­lakukan sesu­dahnya.

Sedangkan kelompok kedua lebih cenderung mengkritisi ajaran agama dan mengolah wawasan intelektual secara kreatif dalam memahami pesan-pesan moral dalam agama serta lebih cenderung melihat suatu ajaran agama dari ber­bagai sudut pandang, baik sudut pandang ideologi, teologi, intelektual, dan lain sebagainya. Selain itu, pemahaman ter­­hadap ajaran agama lebih ditekankan pada penafsiran secara kontekstual sesuai dengan perkembangan waktu, za­man, dan tempat serta mengedepankan faktor rasionalisasi atas ajaran agama.

Dari segi isu, kelompok pertama terobsesi dengan keadaan pada masa Nabi dan sesudahnya. Mereka mendambakan suatu kondisi masyarakat Islam yang homogen. Karena itulah, mereka mengedepankan isu-isu yang berkaitan dengan sebuah sistem yang Islam/islami (atau hanya diberi label demikian) baik itu sistem negara/pemerintahan, ekonomi, masyarakat, pergaulan, dan lain-lain, yang lebih cenderung pada kajian-kajian teoretik yang ideal mengenai kehidupan pada masa/pasca Nabi Saw., serta lebih mengedepankan kesalehan dari segi ritual untuk memberi kesan yang baik mengenai mereka. Sedangkan isu perempuan mereka cenderung mengarah pada mengembalikan muslimah kepada kodrat kewanitaannya dan cenderung menolak peranan wanita di sektor publik bah­kan negara.

Sedangkan kelompok kedua lebih cenderung berusaha mengedepankan isu-isu yang berkaitan dengan kekinian, misalnya isu HAM, perburuhan, eksploitasi, kesetaraan, perjuangan kelas, dan lain-lain, dengan tidak terlalu menge­depankan label Islam/islami. Dari segi isu perempuan, mereka cenderung mengarah ke isu kesetaraan gender dan penolakan atas pembatasan peran perempuan hanya di sektor domestik.

Yang menjadi pertanyaan adalah akankah kedua ideologi ini bisa mendapatkan sebuah titik temu yang bisa mem­pertemukan kedua kutub ideologi yang berbeda tersebut, ataukah keduanya akan terus bermusuhan secara ideologis.

Kesalehan kelompok pertama dan kekritisan kelompok kedua sesungguhnya akan bisa membangun sebuah revolusi pemikiran baru keislaman. …

Secara garis-besar posting yang ditulis oleh salah seorang teman itu boleh jadi mengandung kebenaran-kebenaran, termasuk pengelompokan cara pandang kaum Muslim ke dalam dua kelompok besar itu, masing-masing dengan cirinya itu. Demikian pula, mungkin sudah men­dekati kebenaran ketika penulis mengidentifikasikan ke­lompok pertama sebagai pembaca buku-buku terbitan penerbit-penerbit tertentu, seperti yang disebutkannya. Tetapi, mengaitkan kelompok kedua secara sepenuhnya dengan Mizan—meskipun sebagian besar ciri-ciri yang dikemukakannya boleh jadi merepresentasikan “mazhab” Mizan—mungkin tidak sepenuhnya tepat. Kelompok kedua itu mungkin lebih tepat dikaitkan dengan penerbit seperti LKiS di Yogyakarta—sebuah penerbitan yang, menariknya, dimotori oleh anak-anak NU “liberal” (mereka mungkin lebih senang menyebut dirinya “postra”, kependekan dari pos­tradisionalis)—dan beberapa kelompok penerbit Islam “alternatif” lain yang bermunculan di Yogyakarta dan Jakarta. Disadari atau tidak, Mizan belum pernah mener­bitkan buku Arkoun, Hassan Hanafi, Al-Na‘im, dan sebagai­nya. Kalau dipaksa melakukan semacam soul searching yang terus-terang, saya kira ini bukan sepenuhnya sebuah kebe­tulan, meski­pun bisa saya pastikan tidak disengaja. Karena se­sung­guh­nya, meskipun amat mengapresiasi pemikiran tokoh-tokoh tersebut, tampaknya secara “psi­kologis”—dengan kata lain, secara biased—Mizan merasa tidak semua pemahamannya tentang Islam terwakili oleh pemikir-pemikir ini. Apakah itu? Itulah, barangkali, kepercayaan Mizan kepada keharusan sebuah tafsiran untuk sedapat mungkin bersifat autentik vis a vis dasar-dasar utama Islam, Al-Quran dan Sunnah. Meskipun terbuka terhadap pendekatan posmodernistik dan hermeneutik yang dipakai oleh pemikir-pemikir kelompok ini, maka posmodernisme dan herme­neutisme yang bisa diterima adalah yang lebih “konstruk­tivis” ke­timbang “dekonstruktivis”. Dengan kata lain, posmo­dernisme dan hermeneutika diakui sebagai suatu metode yang absah dan perlu, tapi tidak kecenderungan antiauten­tisitas yang mengikuti sebagian pendekatan di dalamnya. Kalau boleh, Mizan barangkali mewakili suatu kecende­rungan ketiga. Yakni, sesuai dengan namanya, Mizan berupaya mengapresiasi dan mengambil manfaat dari berbagai kecenderungan ada. Menurut versinya sendiri—yang sama bisa benar atau salah—tentu saja. Yakni, suatu cara-pandang yang ingin menampilkan penaf­siran Islam secara rasional dan progresif sedemikian, se­hingga bisa terus berdialog dan menjawab tantangan zaman, tetapi pada saat yang sama berupaya untuk secara “autentik” bersikap sesetia mungkin kepada sumber-sumber nilai Islam dan seapresiatif mungkin terhadap khazanah Islam klasik.

Kalau kita mengikuti upaya pengelompokan menurut Fazlur Rahman—yang di dalamnya kelompok pertama bisa disebut sebagai neorevivalis, dan kelompok kedua sebagai modernis—maka Mizan lebih dekat kepada kelompok neomodernis. Dengan begitu, Mizan berharap akan bisa mengambil kelebihan-kelebihan kedua kelompok ini, sambil sebisanya menghindar dari kelemahan-kele­mah­annya.

Mizan ingin berbagi “kesetiaan” kelompok pertama pada sumber-sumber nilai Islam dan apresiasi pada khazanah Islam tradisional, tetapi sekaligus percaya pada sifat-positif rasionalitas dan sifat-progresif sejarah. Diung­kapkan dari sudut pandang lain, Mizan ingin menghindar dari ketertutupan dan sikap antirasionalisme kelompok pertama, tetapi juga sikap ad-hoc formulasi jawaban kaum modernis (atau posmodernis, yang akan saya singgung di bawah) Muslim dan kekurangan apresiasi mereka terhadap khazanah Islam klasik atau tradisional.

Personifikasi “mazhab” Mizan saat ini bukanlah para pemikir model Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna atau Maududi, bukan pula Hassan Hanafi, dan Arkoun—meski, sekali lagi, Mizan amat mengapresiasi sumbangan tokoh-tokoh ini—melainkan (untuk menyebut beberapa contoh) Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman,Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali, Hasan Turabi, Thariq Ramadan, Muthahhari, Syari‘ati, Mehdi Hairi Yazdi, Taqi Mishbah Yazdi, dan Abdul Karim Souroush. Kesemua tokoh yang namanya disebutkan terakhir kurang lebih memenuhi kualifikasi tafsiran terhadap Islam yang sejalan dengan misi Mizan tersebut di atas. Yakni, secara lebih terperinci menampilkan penafsiran Islam yang berciri:

Pertama, berupaya “setia” pada dasar-dasar Islam dan, dengan demikian, berupaya mendekati “autentisitas”.

Kedua, mengapresiasi khazanah tradisional atau klasik, tidak hanya dalam hal ilmu-ilmu tekstual (naqliyyah), tetapi juga ilmu-ilmu ‘aqliyyah (rasional), khususnya filsafat dan tasawuf (teosofis).

Ketiga, berupaya tak terjebak dalam perumusan jawaban yang bersifat ad-hoc—sepotong-sepotong dan lepas-lepas—untuk menjawab tantangan zaman itu se­hingga bisa terjerumus ke dalam manipulasi, tetapi sedapat mungkin bersifat radikal (baca: mendasar), padu, dan meto­dologis.

Keempat, bersikap positif terhadap perkembangan zaman dengan menganggapnya sebagai rancangan Allah untuk merangsang ijtihad secara terus-menerus. Dengan kata lain, Mizan percaya bahwa sejarah bergerak maju ke arah yang positif, dan bukan sebaliknya, seperti yang dipercayai kelompok tradisionalis atau neorevivalis tertentu yang cenderung degeneratif. Dengan kata lain, Mizan per­caya pada sifat progresif—bukan regresif—sejarah.

Sebenarnya, harus ada ciri kelima untuk melengkapi keempat ciri yang telah disebutkan di atas, yakni keharusan untuk melihat ajaran Islam sebagai harus bisa memberikan pemecahan terhadap persoalan-persoalan konkret kema­nusiaan, termasuk penindasan, perampasan HAM, kemis­kinan, keterbelakangan, dan sebagainya.

Disadari bahwa ciri yang disebut terakhir ini, meskipun secara implisit tersebar di sana-sini dalam neomodenisme Rahman, memang cenderung tenggelam dalam keseriusan Rahman untuk menggali suatu metodologi untuk menggali tema-tema “autentik” Al-Quran (Islam), meskipun itu diyakini Rahman sebagai “hanya” terbatas pada aspek religio-moral. Aspek inilah yang barangkali juga tidak cukup tampil—meski bukannya sama sekali absen—dalam “mazhab” Mizan sejauh ini. Di sinilah para pemikir “pos­modernis” Islam seperti Hassan Hanafi, Abdullah Al-Na’im, Ali Ashgar, Fatima Mernissi, dan lain-lain me­nyumbang banyak gagasan.

Nah, kalau demikian, mengapa tidak mengadopsi “mazhab” pemikir-pemikir seperti ini? Apalagi, ke dalam kelompok ini kita gabungkan orang-orang seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri yang terbukti telah berhasil menarik sumbangan metodologis Rahman ke titik yang lebih canggih lagi?

Problemnya, dalam segenap keseriusan kelompok ini untuk mengambil manfaat dari khazanah pemikiran Islam klasik serta upaya mereka untuk menerapkan alat analisis ilmiah di bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial “posmo­dernis”, termasuk filsafat-kritis, filsafat bahasa, dan kelan­jutannya (filsafat analitik, semiotika, strukturalisme, pasca­strukturalisme, pascakolonialisme, sosiologi, psikologi, antropologi, dan lain-lain), saya masih melihat adanya ke­cenderungan kemiripan antara kelompok modernis dan kelompok-kelompok pemikir-pemikir kontemporer ini. Yakni dalam hal—yang oleh Rahman disebut sebagai—sifat ad-hoc penafsiran keislaman mereka. Hal ini mungkin ber­sum­ber dari sifat dasar hermeneutika yang membaca teks Al-Quran dalam perspektif masalah-masalah konkret yang dipandang perlu ditanggapinya. Betapapun metodologis­nya, ada kesan bahwa keyakinan-keyakinan a priori—yang sering sekali di­kembangkan dan kemudian diadopsi dari sumber-sumber non-Islam (konvesional)—kemudian dica­ri­­kan pembe­naran­nya dalam (read into) sumber-sumber Islam. Meskipun didorong oleh iktikad baik untuk menjadikan ajaran Islam relevan bagi problem-problem konkret kema­nusiaan, juga mengandung risiko bahwa agama ditarik-tarik ke wilayah-wilayah yang semata-mata profan dan menjadi tak lebih dari bersifat instrumental belaka.

Meskipun begitu, sudah tentu hal itu tidak berarti bahwa secara sadar Mizan memilih untuk tidak menerbitkan buku-buku di luar jalur-utamanya selama  ini, karena sedi­kitnya dua alasan: pertama, Mizan menganjurkan keter­bukaan terhadap berbagai pemikiran. Betapapun, Mizan,  sadar atau tidak, berpihak kepada suatu  “mazhab” tertentu, hal ini tak bisa dijadikan alasan untuk menyensor. Kedua, betapapun tidak berada di jalur utama “mazhab” Mizan, pemikiran para tokoh yang lain itu tentu memiliki kontribusi yang amat besar bagi perkembangan pemikiran Islam yang sejalan dengan tujuan Mizan. Orang-orang seperti Thaha Husain, Hassan Hanafi, Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, dan lain sebagainya memiliki peran yang besar dalam menyadarkan kaum Muslim mengenai perlunya mendasar­kan seluruh penafsiran keislamannya atas suatu metodologi yang bertanggung jawab. Demikian pula, tokoh seperti Maududi dan Sayyid Quthb terus mengingatkan kita agar upaya kita dalam mendialogkan Islam dengan modernitas tidak menjerumuskan kita ke dalam manipulasi —betapapun baik iktikadnya—ajaran Islam atas nama mo­dernitas.

Melewati perbedaan pandangan tentang cara-cara menafsir Islam ini, Mizan berupaya mengapresiasi pluralitas keberagamaan. Karenanya, Mizan tak berkeberatan untuk menerbitkan buku-buku yang menampilkan common platform Islam dan agama-agama lain. Mizan yakin bahwa itulah bagian dari ajaran Islam. Buku-buku karya non-Muslim tentang Islam pun, selama ia memenuhi kriteria yang dite­tapkan, diyakini layak untuk diterbitkan. Nah, kalau demi­kian sikap kami terhadap pluralitas keberagamaan, apatah pula dengan kemajemukan mazhab keagamaan di kalangan kaum Muslim sendiri: termasuk Syi‘ah, Sunnah, Salafiyah, Wahhabiyah, dan sebagainya. Meskipun demikian, Mizan merasa perlu berupaya bersikap lebih “waskita” dalam membaca tanda-tanda zaman agar “dakwah” Mizan tidak justru memperkeras sikap-sikap eksklusivistik sebagian di antara saudara-saudara kita kaum Muslim dengan secara melempar isu-isu pluralisme keagamaan ke pasar bebas gagasan secara tergesa-gesa. Demikian pula dengan isu-isu kontroversial antarmazhab. Sebagai contoh, sejauh ini tak pernah terpikir pada Mizan untuk menerbitkan buku fiqih atau teologis yang khas-Syi‘ah, misalnya yang diter­bitkan Mizan selama ini adalah buku-buku pemikiran yang bersifat kurang-lebih umum. Kalau pun ada perbandingan Sunni-Syi‘ah, isinya harus bersifat mendekatkan dan men­cari persamaan, bukan sebaliknya.

“Islam yang dipahami secara bertanggung jawab, canggih (sophisticated), dan hidup (selalu tanggap terhadap tantangan zaman—dulu tantangan modern) sekaligus inklusivistik”, demikianlah rumusan ini pernah kita lon­tarkan pada saat Mizan berusia sepuluh tahun. Itu sebabnya, sekali lagi, Mizan tidak dapat bersikap dikotomis karena sikap seperti itu hanya akan menjadikannya eksklusif. Padahal, sebaliknya dari bersikap eksklusif, kita justru perlu terus menyadari bahwa kita mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Umat manusia dari kelompok mana pun, dalam sejarahnya tidak pernah membangun dari sebuah vacuum. Semua peradaban dan semua agama meng­alami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, seperti pernah dikatakan Pak Kuntowijoyo, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Karena eksklusivisme sama saja dengan sikap a-historis dan tidak realistis.

Akhirnya, hampir-hampir tak perlu ditegaskan lagi bahwa, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai “mazhab Mizan” itu, maka ia selamanya akan tentatif. Karena, pertama, orang-orang yang di Mizan ikut meru­mus­kan “mazhab” ini hanyalah sedikit di antara banyak partisi­pan dalam kancah wacana pemikiran keislaman. Bukan itu saja, kami sadar betul bahwa di luar Mizan banyak pemikir yang memiliki disposisi yang lebih lengkap—untuk tak menyebutnya lebih autoritatif—untuk mengembangkan “mazhab” atau aliran penafsiran terhadap Islam yang qualified. Sesungguhnya dari mereka jugalah kami belajar. Kedua, kalau pun ada di antara pemikiran kami—sesedikit apa pun —yang bisa menyumbang kepada proses perkembangan pemikiran Islam, maka kami sadar di dalamnya selalu masih terbuka banyak ruang untuk pengembangan dan revisi. Kebu­tuhan akan pengembangan dan revisi ini adalah suatu keniscayaan alami dan manusiawi. Dan kalau ada suatu keyakinan yang kami peluk dengan sepenuh hati, itulah sifat relatif dan tentatif hasil pemikiran manusia. Siapa pun yang melahirkannya, di mana pun, dan kapan pun. Wal-laahu a‘lam bish-shawâb. []

Sumber : http://www.mizan.com/mereka-reka-mazhab-mizan-sebuah-upaya-soul-searching/

Bagikan ke Sekitarmu!
Mereka-reka “Mazhab” Mizan: Sebuah Upaya “Soul Searching”