Dunia semakin terhubung. Tahun 2019, total populasi dunia mencapai 7 miliar orang. Lima miliar di antaranya adalah pengguna aktif telpon genggam dan yang terhubung dengan internet mencapai 4,3 miliar. Tidak hanya manusia yang terhubung, benda-benda di sekitar kita juga dapat digerakkan menembus batas fisik perbatasan kota bahkan negara. Aktivitas yang kita lakukan juga tidak lagi hanya menjadi konsumsi pribadi, tetapi dapat disebarkan semudah meng-klik tombol dengan ibu jari. Dalam waktu singkat, foto secangkir kopi artisan dengan tambahan filter instan yang kita pesan lima menit lalu dapat dilihat oleh orang-orang berbagai profesi yang menjadi follower sosial media kita.
Pada kolom deskripsi tak jarang digunakan item tambahan seperti #KopiSenja #PenikmatKopi dan lainnya. Kadang tagar-tagar ini tidak karuan banyaknya dalam satu postingan. Mereka digunakan oleh milenial untuk berbagi kegiatan serta mencari milenial lain yang memiliki hobi yang sama. Sebagian besar yang menyertakan tagar pasti tujuannya cuma ikut-ikutan saja. Biar dianggap kekinian, tiap posting foto di Instagram atau setelah nge-tweet disertakan banyak tagar. Padahal, tagar itu tidak sekadar simbol kekinian saja. Namun ada manfaat atau fungsi yang besar.
Baca juga.
Ramai! Kompas Salah Cetak: Tidak Sengaja atau MO?
Sepanjang dua tahun belakangan muncul beragam tagar dari yang sedih, lucu, hingga berbau politik. Ada #PersibDay, tak ketinggalan #PersijaDay, konser salah satu band KPOP di Jakarta #WINGSTOURInJakarta, kasus terpopuler sepanjang 2017 #FreeAhok, hingga #justiceforAudrey. Tagar-tagar ini mencuri perhatian. Namun sebenarnya, tagar-tagar tersebut adalah bagian dari #MO. Banyak yang tergerak dan merasa geram saat #saveorangutan menjadi trending topic di kolom pencarian Twitter. Berbagai komentar dan foto diunggah, menampakkan wajah orangutan yang bersanding dengan foto pemilik akun. Alibaba dalam penjualannya menggencarkan tagar #singleday sehingga para jomblo bisa ‘menghadiahi’ dirinya pada hari tersebut. Semua tagar tersebut berkaitan erat dengan trik yang dinamakan #MO.
Akademisi dan praktisi bisnis asal Indonesia yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali menjelaskan, #MO adalah strategi bisnis yang mengandalkan crowd/kerumunan masa. Kerumunan-kerumunan ini terkoneksi satu sama lain. Dalam #MO, crowd digiring untuk mengadopsi ide atau pikiran yang diinginkan oleh sebuah korporasi, ataupun tujuan tertentu dari suatu organisasi atau seseorang.
Di dalam buku Rhenald Kasali, #MO dijelaskan sebagai cara memanfaatkan mobilisasi dan orkestrasi baru dalam connected society dengan mengangkat tema yang sederhana, konkret, emosional, dan dapat dibuat cerita yang menarik dan menggugah. Penggunaan #MO boleh jadi sebuah alat untuk menyebarkan isu tanpa terkesan menggurui. Pemakaian tagar sederhana ternyata memiliki tujuan yang berbeda dari pemahaman umum.
Jadi, mulai sekarang pahami dan cari tahu terlebih dahulu bila melihat suatu tagar ramai diperbincangkan. Jadilah orang-orang yang paham. Baca selengkapnya dalam buku #MO: Mobilisasi dan Orkestrasi, dapatkan segera di Mizanstore.com
Melati/Expose