Mungkin banyak yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang menjadikan penulis sebagai profesi? Apakah betul seseorang dapat hidup hanya dengan menggeluti pekerjaan bernama “penulis” itu. Seakan-akan, catatan pendek yang menjadi pengantar Agus Noor dalam salah satu bukunya yang berjudul Cinta Tak Pernah Sia-sia melampirkan jawabannya.
“Menulis adalah membebaskan diri dari kegilaan.”
Selain kata-kata Pramoedya bahwa ‘menulis adalah pekerjaan untuk keabadian’, ternyata ada dalih lain yang menjadi alasan seseorang untuk menulis. Bagi Agus Noor, kegiatan menulis adalah untuk terus menjaga kewarasannya. Ia telah tekun menulis sejak SMA. Awal karier kepenulisannya dimulai dengan kehadirannya dalam koran-koran mingguan yang biasa menerbitkan kolom sastra di dalamnya. Seiring berjalannya waktu, ketika cerpen pertama dalam buku ini yang berjudul “Kecoa” berhasil lolos dalam cerpen mingguan Kompas, sejak itulah Agus Noor memutuskan untuk hidup dari menulis.
“Saya percaya ketika ada yang mengatakan menjadi penulis itu bukan ‘profesi-karier’, tetapi lebih pada cinta yang keras kepala, tetapi tak sia-sia.”
Menjadi penulis juga berarti mencari siasat. Menjadikan penulis sebagai pekerjaan, untuk menghidupi hidup berarti juga kerja keras yang pantang untuk digeluti para pemalas. Tetapi juga, menulis tak boleh kehilangan unsur cinta, karena menulis yang terpaksa adalah sia-sia dan menulis dengan cinta tak pernah sia-sia.
Agus Noor (foto dari mediaindonesia.com)
“Ide tak ditunggu dan dicari, tetapi disusun.”
Seringkali para penulis besar yang namanya pernah menghiasi berbagai tulisan, mendadak hilang entah ke mana. Alasannya mungkin sesederhana: saya sudah tidak punya ide untuk menulis. Bagi Agus Noor, alasan ini tentu tidak masuk akan karena tidak mungkin seseorang bisa kehilangan ide untuk menulis.
“tak ada alasan untuk mengatakan tak ada ide.”
Agus Noor bahkan memaksakan dirinya untuk menulis minimal 4 cerpen dalam sebulan. Jika ia tak berhasil menyelesaikan target tersebut dalam sebulan, ia akan mengakumulasinya sebagai “utang” ke bulan berikutnya. Dengan cara ini, ia dapat terus aktif menuangkan idenya.
“Tapi, menulis, tentu saja tidak semata-mata soal gaya atau teknik. Pada akhirnya, menulis adalah cara kita memandang, menanggapi, dan menyikapi dunia. Dalam konteks inilah, wawasan dan pengalaman seorang penulis akan lebih menentukan ketimbang keterampilan menulis.”
Pada akhirnya, barangkali kita belum membaca keseluruhan karya Agus Noor. Sebagai contoh, buku ini saja, misalnya, baru merangkum 37 karya Agus Noor yang pernah diterbitkan di Kompas Minggu selama 27 tahun lamanya. Tentu saja masih banyak karya gemilang lain yang patut ditunggu. Kejutan dari “tabungan Agus Noor” yang akan terus diserbu penggemarnya akan ditebok juga pada masanya.
Membaca Cinta Tak Pernah Sia-sia adalah permulaan. Kamu dapat juga membaca Hakim Sarmin Presiden Kita, Lelucon Para Koruptor, atau Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Di dalamnya tak hanya ada cerita, tetapi juga pesan pendek dari Agus Noor bagi para penulis pemula. Mengapa tak coba berkaca dari seorang penulis yang sudah lebih dari 27 tahun dan masih terus aktif berkarya? Barangkali, kamu, sebagai membaca akan mulai menulis juga. Dan, mengapa tidak menjadikannya sebagai sebuah profesi yang nyata?
[Hanung W L/Copywriter Mizanstore]