Disruption pada dasarnya adalah perubahan, tetapi bukan sembarang  perubahan.

Suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat hadirnya “masa depan” ke masa kini (tomorrow is today). Perubahan semacam itu membuat segala sesuatu yang semula berjalan dengan normal-normal saja dan serba teratur, tiba-tiba harus berubah dan berhenti secara mendadak akibat hadirnya sesuatu yang baru. Di sini, yang dimaksud sebagai “sesuatu yang baru” bisa banyak hal: teknologi baru, proses bisnis yang baru, para pemain baru, aplikasi-aplikasi yang baru, model bisnis yang baru, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.

Perubahan semacam inilah yang membuat para petahana dan pemain lama bak kebakaran jenggot. Mereka tak tahu cara menanggapinya. Itu karena mindset mereka, cara-cara berpikir mereka, masih memakai pola-pola atau dengan cara-cara lama, cara-cara yang konvensional. Padahal, perubahan yang tengah terjadi tidak konvensional.

Buku ini memperkenalkan bagaimana memimpin perusahaan di era disruption, lengkap dengan ciri-ciri disruptive leader, baik di lingkungan pemerintahan maupun bisnis. Mereka berani mendobrak kemapanan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam, manajemen pemerintahan, dan tata kelola bisnis.

Semua Industri Terdampak Disrupsi

Semua usaha dan bidang-bidang nonindustri akan terdampak. Namun, besar atau kecilnya sangat beragam. Ada yang sangat cepat terdampak dengan efek menghancurkan dan ada yang sangat lembut. Ada yang melenakan, ada yang kuat dan tak bisa diatasi.

Reaksi para pihak juga beragam. Ada yang langsung mengambil inisiatif memimpin revolusi pada industrinya, tetapi tak sedikit yang hanyut dalam orkestrasi yang disampaikan pihak lain dan menyalahkan keadaan. Mereka menyalahkan daya beli yang lemah (ketimbang membenahi ketakberdayaan diri sendiri), regulator atau kompetitor. Padahal, rules of the games bisnis mereka telah berubah.

Begitulah sifat manusia. Sewaktu muda gemar mencari terobosan-terobosan baru. Begitu nyaman, semakin tua semakin ingin mempertahankan legacy yang dibangun saat muda dulu. Perusahaan yang demikian dan dikuasai kaum tua pasti mengalami proses penuaan yang sulit dihindari. Menjadi Lazy Company dan tidak inovatif lagi.

Disruption selalu diawali dengan inovasi yang memutus mata rantai pendekatan-pendekatan lama, membuat batas-batas perusahaan memudar, mengurangi beban atau menyederhanakan rantai pasokan (supply chain), dan memaksa pembuat kebijakan ekonomi harus menulis kembali hukum-hukum baru perekonomian. Bahkan, mengubah cara pandang birokrasi dan para penegak hukum. Kembali ke dampak disruption, sering kali perusahaan dan birokrat amat terpaku pada technical capabilities. Teknologi, khususnya digital technology memang dapat dibeli. Namun, semua itu hanyalah alat. Sering kali masalahnya bukan di situ, melainkan pada manusia yang menggunakannya. Misalnya, tak banyak pemilik perusahaan yang tahu bahwa software SAP yang mereka beli dengan sangat mahal dan sangat powerful itu, antara 50–75% gagal diterapkan di banyak perusahaan. Apa penyebabnya? Perkara leadership.

Jadi, selain digital capability, disruptor memerlukan leadership capability. Selanjutnya, dengan melihat kedua unsur itu, dipetakan empat tipe perusahaan yang disebut sebagai Digital Masters, Fashionistas, Beginners, dan Konservatif.

Siapa saja yang masuk dalam kategori Beginners, Konservatif, dan seterusnya?

Detail dan uraian menarik tentang hal tersebut bisa Anda rasakan kala membaca langsung bukunya. Di manakah posisi Anda dan perusahaan Anda di antara empat tipe tersebut? Singkat cerita, champion-nya adalah yang bertipe Digital Masters. Digital Masters membangun dua kekuatan sekaligus. Mereka menguasai digital technology, punya kapabilitas teknologi yang memadai, tetapi secara alamiah juga membangun upaya dalam digital leadership yang tangguh.

Mereka tahu bahwa dunia kerja yang baru itu adalah “dunia bermain”. Dunia bermain seperti masa kita di taman kanak-kanak yang kreatif dan penuh semangat. Mereka tahu bahwa pekerjaan-pekerjaan kantoran akan digantikan oleh virtual jobs, terjadi molekularisasi yang besar dan jarak telah mati. Mindset dan kultur korporasi mereka benar-benar disruptif.

Digital leadership tampak dari visi perusahaan terhadap proses digital yang sangat kuat dan mereka bekerja keras menerjemahkan visi digital itu ke dalam langkah-langkah konkret. Berbeda sekali dengan Beginners yang serba tidak digital. Tak memiliki visi teknologi, tidak berani membeli teknologi, juga tak memiliki kapabilitas digital leadership yang memadai. Persis seperti perusahaan-perusahaan tua lain yang kita kenal. Kultur bisnisnya pun dibangun dalam bingkai kultur lama yang mengabaikan kultur digital sebagai “mainan” dari generasi para penerus.

Rhenald Kasali, penulis buku ini, juga mengajak kita untuk melihat dampak disruption pada tiap-tiap industri. Mereka yang berada di dalam bisnis high-tech sudah menjadi Digital Master. Demikian pula, walaupun tak setinggi high-tech company, sektor retail dan perbankan wajib menjalankan self-disruption. Industri ini tengah dipimpin pemain-pemain baru yang bekerja dengan cara-cara baru dan pemain-pemain lama yang revolusioner, sedangkan yang tak berubah hanya bisa meratap dan menangis bak anak kecil yang diambil mainannya. Sekarang, kita jadi paham mengapa sektor retail Indonesia mengalami guncangan yang besar sepanjang tahun 2017–2018? Selain tidak memiliki visi digital, rata-rata retail business Indonesia juga kurang memiliki digital leadership yang mampu mengarahkan mereka ke masa depan baru. Tak ada visi yang kuat, apalagi menerjemahkannya ke dalam dunia baru.

Lantas bagaimana dengan sektor lainnya? Industri lainnya yang terlena, antara lain, adalah sektor manufaktur dan tambang. Untuk sementara, mereka merasa nyaman. Demikian pula pemerintah yang “buta” yang tak membaca peta perubahan. Ini berbeda dengan negara-negara kecil yang adaptif yang justru menjadi digital master. Tambang, manufaktur, dan farmasi benar-benar terlena. Padahal, tentu saja terjadi perubahan-perubahan mendasar di dalamnya.

Self-Disruption: Instropeksi untuk Aksi

Ketika tanda-tanda era disrupsi semakin nyata, masih banyak yang berpikir semua itu terjadi “di luar sana” dan “masih jauh”. Mereka terpaku pada “faktor eksternal”, bukan melihat kedalam diri (faktor internal), lalu melakukan self-disruption. Mereka masih berpikir, segala yang berubah itu karena terjadi perlambatan ekonomi, melemahnya daya beli, dan seterusnya. Ironisnya, ekonom konvensional pun mengaburkan kebenaran-kebenaran baru yang tak mereka lihat karena mereka semua menyangkalnya.

Sikap Anda dan perusahaan Anda terhadap fenomena disrupsi yang semakin nyata ini, akan menentukan apakah kita bertipe Konservatif atau Mastery. Dan, ketika kita salah menempatkan diri bakal menghadapi serangan-serangan besar dari para disruptor. Oleh karena itu, self-disruption menjadi amat penting.

Lantas, bagaimana caranya agar kita dan bisnis kita tidak terdisrupsi? Lagi-lagi pilihannya hanya satu, yakni Anda harus berani mendisrupsi diri dan bisnis Anda sendiri terlebih dahulu. Harus berani melakukan SELF-DISRUPTION! Be disruptive, or you will be disrupted. Melalui buku SELF-DISRUPTION ini, kita bisa mendapatkan fakta dan inspirasi penting dalam mengarungi samudera disrupsi, sekaligus menjadi pemenang. 

[Melati/Expose]

Bagikan ke Sekitarmu!
SELF DISRUPTION UNTUK ANDA DAN BISNIS ANDA