Akhir-akhir ini istilah disruption sering terdengar. Setiap ada hal baru atau pola bisnis yang berubah dan berdampak buruk bagi perusahaan, seolah-olah adalah efek dari disruption. Sebenarnya apa itu disruption?

Konsep disruption itu sebenarnya tidak rumit. Disruption pada dasarnya adalah perubahan, tetapi bukan sembarang perubahan. Ini perubahan yang terjadi sebagai akibat hadirnya “masa depan” ke masa kini. Perubahan semacam itu membuat segala sesuatu yang awalnnya berjalan dengan normal dan teratur sesuai prediksi, tiba-tiba harus berubah dan berhenti secara mendadak akibat hadirnya sesuatu yang baru. Maksud dari “sesuatu yang baru” yaitu bisa berbagai hal. Misalnya; teknologi baru, proses bisnis yang baru, para pemain baru, aplikasi-aplikasi yang baru, model bisnis yang baru, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.

Perubahan semacam inilah yang membuat para petahan atau incumbent bak kebakaran jenggot. Mereka tak tahu bagaimana cara menyikapi disruption itu dengan sigap, dikarenakan mindset mereka masih memakai pola lama dan cara-cara yang konvensional. Padahal, perubahan yang tengah terjadi tidak konvensional.

Misalnya, para incumbent masih menganggap persaingan itu bersifat linier, yakni hanya terjadi pada produk atau jasa yang sama, atau dengan perusahaan-perusahaan pada industri yang sejenis. Misalnya, perusahaan transportasi akan bersaing dengan sesama perusahaan transportasi, hotel vs hotel, restoran vs restoran. Belum lagi biro-biro perjalanan merasa pesaing mereka adalah sesama biro perjalanan, bank melawan bank, mal-mal atau pusat-pusat perbelanjaan bersaing dengan sesama mal, dan masih banyak contoh lain sebagainya.

Kenyataannya kini sudah tidak lagi seperti itu.

Misalnya, perusahaan-perusahaan transportasi kebingungan setengah mati ketika lawan yang mereka hadapi adalah pengembang aplikasi—lawan yang tidak kelihatan—yang mempertemukan konsumen (mereka yang membutuhkan layanan transporasi) dengan para pemilik kendaraan (penyedia layanan transportasi). Persaingan bukan lagi antar perusahaan yang sejenis. “Kompetitor” mereka hadir dengan menawarkan tarif yang lebih murah dan lebih mudah aksesnya, mereka berpikir dengan pola yang baru menyesuaikan karakter pasarnya. —sebagian konsumen mengaku, kualitasnya juga baik, meski ada juga yang buruk.

Kehadiran startup dalam bisnis finansial juga mengagetkan kalangan perbankan. Lalu, yang belakangan juga ramai adalah pusat-pusat perbelanjaan yang mengeluhkan menurunnya transaksi karena sebagian konsumen mereka—terutama anak-anak muda, konsumen masa depan mengalihkan pola belanja ke transaksi online melalui perusahaan-perusahaan e-commerce. Selain harganya lebih murah, transaksi online menawarkan sensasi dan pengalaman belanja yang baru.

Begitulah disruption, menimpa para pemain lama dalam berbagai bidang bisnis.

Keberhasilan yang lalu atau pun kini tengah dirasakan membuat mereka berpikir bagaimana nanti bukan nanti bagaimana. Sehingga pola berpikir bagaimana nanti tidak siap menghadapi pesaing-pesaing yang tak kelihatan dan sekaligus memakai logika masa depan.

Itulah disruption yang tengah terjadi di sekitar kita. Banyak perusahaan tak mampu menghindar dari terjangan disruption, sebab pemicunya adalah teknologi.

Nah, bagaimana caranya agar bisnis kita tidak terdisrupsi? Sayangnya, pilihannya hanya satu, yakni Anda harus berani mendisrupsi bisnis Anda sendiri terlebih dahulu. Jadi, Anda harus berani melakukan SELF-DISRUPTION! Beranikah?

[Melati/Expose]

Bagikan ke Sekitarmu!
ADA APA DENGAN DISRUPTION?