Apakah kamu sudah membeli lebih dari 20 buku bulan ini? Sudah berapa banyak dari buku tersebut yang sudah kamu baca? Jika jawabanmu nol alias belum ada satu pun yang kamu baca, hati-hati! Kemungkinan besar kamu mengidap tsundoku!

Eh, apa itu tsundoku? Apakah semacam suatu penyakit menyeramkan? Apakah berbahaya bagi kesehatan? Huah, harus apa kalo sudah telanjur mengidap tsudoku?

Tetap tenang dan jangan khawatir. Tsundoku bukan jenis penyakit berbahaya, kok. Disebut penyakit pun juga tidak bisa, hm, ini lebih ke peristilahan saja. Yuk, pelan-pelan kenali tsundoku.

Sejarah Istilah Tsundoku

Istilah “tsundoku” berasal dari bahasa Jepang yang dapat diartikan dengan ‘kondisi atau keadaan ketika seseorang membeli buku, tetapi tidak membacanya.’ Istilah ini diambl dari kata “tunde oku’ yang dapat diartikan ‘membiarkan sesuatu yang menumpuk dan ditulis’. Seiring berjalannya waktu, kata “oku” (おく) dalam kata “tsunde oku” berganti menjadi “doku” (読) yang berarti membaca.

Istilah ini mulai dikenal pada awal era Jepang modern. Era ini dikenal dengan nama era Meiji, yakni pada rentan tahun 1868—1912. Selanjutnya, dunia mengadaptasi istilah yang sama dengan tidak mengubah atau memadupadanankannya dengan kata lain, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, istilah ini tetap disebut dengan tsundoku.

Apakah Tsundoku berbahaya?

Bisa jadi, iya. Berbahaya untuk dompet jika pembeli buku tidak berhati-hati mengatur keuangannya. Bayangkan bertumpuk-tumpuk buku memenuhi rumah dengan tidak terkendali. Sayangnya, mereka pun tidak sempat disentuh apalagi dibaca karena kebiasaan tsundoku terus dilakukan.

Satu kasus tsundoku yang cukup terkenal dan dilansir Los Angles Times dialami oleh seorang pria bernama Frank Rose. Lelaki yang berasal dari Amerika Serikat ini telah memiliki 13.000 buku yang sama sekali belum ia baca. Jumlah yang fantastis, bukan?

pexels-photo-110252

free image from pexels.com

Frank yang seorang pensiunan pegawai negeri memutuskan untuk mulai mengoleksi buku dengan harapan dapat mengisi masa tuanya dengan banyak membaca. Alih-alih membaca, Frank kelimpungan karena jumlah bukunya semakin meningkat setiap saat karena tsundoku yang dialaminya. Alhasil, sekitar 13.000 buku tersebut ia sumbangkan ke perpustakaan setempat, Arden-Dimick Library. Pengelola perpustakaan Arden-Dimick Library mengaku bahwa sumbangan buku yang dilakukan oleh Frank adalah yang terbesar dalam sejarah perpustakaan!

Bagaimana Menyiasati Tsundoku?

Seakan seperti penyakit, tsundoku bisa saja diidap siapa saja tanpa memandang bulu. Biasanya, mereka yang mengalami tsundoku ini adalah kalangan pekerja yang sudah berpenghasilan. Mereka (atau kitakah?) merasa mampu membeli kebutuhannya sendiri, tetapi sayangnya tidak memiliki banyak waktu untuk membacanya. Alhasil, buku-buku itu hanya ditumpuk saja dan memenuhi setiap sudut ruangan.

Selain itu, banyak juga yang menyalahkan diri sendiri karena terlalu banyak membeli buku sama dengan menyumbangkan berkurangnya pohon yang ditebang untuk dijadikan kertas. Rasa bersalah akhirnya menghantui mereka yang terlanjur menjadi tsundoku.

Sebenarnya, menjadi atau menghindari tsundoku itu adalah pilihan. Hanya saja, kebiasaan seperti ini memang sebaiknya coba diperbaiki. Bagi yang sudah telanjur membeli banyak buku, cobalah berhenti dulu membeli buku baru. Selesaikan bacaan buku yang masih ada di rumah. Selain bisa menghemat uang, pengetahuan baru dari buku-buku yang sudah ada bisa didapat dengan segera.

Jika sudah selesai membaca bukunya, tetapi ingin segera membeli yang baru, sumbangkan saja bukunya. Buku-buku yang disumbangkan ke perpustakaan sama dengan berbagi ilmu pengetahuan kepada dunia. Opsi lainnya, Anda juga bisa menjualnya kembali dan mendapat uang untuk membeli buku lagi, Asyik, kan?

Kebiasaan membeli buku itu memang baik, asalkan dibaca, ya. Penting untuk tetap rajin membaca karena seperti kata pepatah, membaca membuka jendela dunia, kan?

(informasi diolah dari berbagai sumber dengan penyesuaian)

[Hanung W L/ Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Banyak Beli Buku, Tapi Tak Pernah Dibaca? Hati-hati kena Tsundoku!