Orang bilang buku adalah “Jendela Dunia”, bahkan Mohammad Hatta dalam salah satu kutipannya mengatakan, “Aku rela dipenjara bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” 

Buku menjadi salah satu media utama untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan. Bahkan, di era 1980-an buku dianggap menjadi salah satu alat menyebarkan pemikiran dan ajaran yang bertentangan dengan masa pemerintahan Indonesia kala itu. Makanya, banyak buku yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. 

Berbeda dengan saat ini. Buku bebas beredar dan dapat dibaca siapapun. Jenisnya pun beragam, mulai dari fiksi, komik, buku anak, dan lain sebagainya. Semakin beragamnya buku-buku yang terbit seharusnya minat baca di Indonesia makin meningkat. Tapi fakta di lapangan justru berbanding terbalik. 

 

Rendahnya Minat Baca dalam Angka

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk di Indonesia di atas 15 tahun yang melek huruf mencapai 96,07%. Hal itu membuktikan seharusnya Indonesia berpotensi memiliki minat baca yang baik. Tapi kenyataannya, menurut data UNESCO tahun 2012, angka minat baca anak Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada 1 dari 1.000 orang yang memiliki minat baca serius. 

Fakta lain, berdasarkan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Respondennya anak-anak sekolah usia 15 tahun dengan responden sekitar 540 ribu orang. 

Bukan hanya UNESCO dan PISA, penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) yang diumumkan Maret 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman.

 

Faktor Penyebab

Unsplash.com

Buku-buku yang ada saat ini sangat beragam dan menarik. Namun, mengapa faktanya justru berbeda? Dikutip dari Kompas.com, menurut Menurut Pendiri Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia, Trini Hayati, salah satu penyebab rendahnya minat baca anak adalah kesulitan akses untuk mendapatkan buku. Semangat baca yang tinggi pun menjadi tidak berarti tanpa adanya buku yang bisa dibaca. 

“Rasa tertarik ada tapi untuk mendapatkan akses buku susah. Jadi, minat baca anak kurang,” ujar Trini, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (11/5/2017).

Alhasil, buku-buku yang mereka dapatkan mungkin tidak sesuai harapan, tidak sesuai dengan klasifikasi umur, dan kondisi buku yang kurang baik. 

Faktor lain juga dari sisi teknologi, kemajuan teknologi membuat orang menjadi malas untuk membaca halaman per halaman buku. Semuanya bisa didapatkan secara instan di internet. Akibatnya, mereka lebih cenderung hanya melihat sinopsis, review singkat di blog ataupun media sosial, lalu selebihnya mereka hanya akan menerka-nerka cerita tersebut.

 

Industri Buku Anak Mendominasi

Di tengah gempuran rendahnya minat baca anak Indonesia dan sulitnya akses untuk mendapatkan buku, hal menarik justru terjadi pada industri buku anak. Berdasarkan data IKAPI mengambil data penjualan buku dari Gramedia, peringkat 1 penjualan adalah buku anak. Tahun 2014, sekitar 10,1 juta eksemplar buku cerita anak berhasil dijual, mengalahkan buku religi dan spiritual, fiksi dan sastra, bahkan buku pelajaran sekolah. Pada 2013, pangsa pasar buku anak adalah 22,31 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Setahun kemudian, jumlahnya meningkat  22,64 persen.

Fakta ini tentu menimbulkan keheranan, mengapa minat baca anak Indonesia dibilang rendah, padahal justru penjualan paling tinggi malah terjadi di sektor buku anak. Menurut IKAPI, larisnya buku anak karena harga rata-rata yang murah, yakni Rp30 ribu. Penerbit-penerbit buku anak tersebut, seperti Noura Books, Bentang Pustaka Erlangga, AgroMedia, dan Kompas Gramedia. 

 

Ragam Buku Anak yang Beredar

Angka penjualan tersebut tentunya mempengaruhi hadirnya buku-buku anak yang beredar saat ini. Sekarang, bukan hanya dari sisi ilustrasi, tulisan, dan warna-warna yang menarik, tapi juga hadirnya sosok ikonik yang dimiliki buku anak, seperti Bobo.

Penerbit Noura Books dan Bentang Pustaka, sebagai salah satu penyumbang buku-buku anak Indonesia juga menciptakan tokoh ikonik, seperti Cican dan Kina yang menjadi salah satu produk andalan mereka. Ilustrasi yang menarik, dikemas dengan bahasa yang sederhana, bentuk buku yang ramah bagi anak-anak, dan sarat akan pesan moral adalah syarat utama buku anak yang berkualitas. 

sumber: Instagram/BentangKids

Baca juga. 

Si Kecil Pasti Suka, Intip 5 Jenis Buku Bacaan Ini!

Dunia Buku dalam Angka

Bukan itu saja, sudah seharusnya di tengah gempuran teknologi yang semakin besar saat ini. Para penerbit buku anak tentu harus memutar otak bagaimana menyiasati agar anak-anak tetap menyukai dan senang membaca. Alhasil, saat ini bahkan banyak buku yang digabungkan dengan teknologi Augmented Reality (AR) agar semakin menarik. Jadi, sudah seharusnya buku yang sesuai dengan usia dan ketertarikan anak bisa menjadi cara jitu dalam menumbuhkan minat baca mereka. Dengan tumbuhnya semangat membaca, diharapkan jendela pengetahuan dan inspirasi anak pun akan terbuka lebar. 

Keberadaan teknologi yang semakin canggih juga diharapkan menjadi salah satu faktor pendorong bagi anak-anak di Nusantara untuk mempermudah akses mereka mendapatkan buku-buku bacaan yang berkualitas.

Selamat Hari Anak Nasional!

Diolah dari berbagai sumber dengan penyesuaian 

Awita Ekasari/Mizanstore 

 

Bagikan ke Sekitarmu!
Anak dan Buku di Indonesia