Apa yang pertama kali muncul dalam benakmu ketika mendengar kata toilet? Kotor? Kumuh? Bau? Atau apa? Tahukah kamu bahwa toilet yang kotor, kumuh, bau yang kamu bayangkan itu dapat menjadi inspirasi bagi seorang penulis besar seperti Eka Kurniawan, untuk membuat sebuah cerpen.

Sebelum masuk lebih jauh mengenai cerpen toilet-nya, mari lebih dahulu kenal Eka Kurniawan sebagai seorang penulis yang sudah lama berlalu lalang dalam dunia sastra di Indonesia.

Eka Kurniawan. Nama ini terkenal sangat lihai dalam menulis cerpen dan novel. Untuk karyanya yang berupa novel, bebut pertamanya yang berjudul Cantik Itu Luka mendapat perhatian khusus dari penikmat sastra, nasional bahkan internasional. Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Buku keduanya yang berjudul Lelaki Harimau pun tidak kalah menariknya. Buku ini pun masuk nominasi panjang penghargaan The Man Booker International Prize 2016.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, selain menulis novel, Eka Kurniawan juga menulis cerpen. Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Kali ini, yang akan dibahas lebih jauh adalah buku kumpulan cerpennya yang berjudul Corat-coret di Toilet.

halaman sampul buku Corat-coret di Toilet

Buku ini pertama kali diterbitkan sekitar tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia berisi sepuluh cerpen, kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia pada tahun 2014 dengan menambah dua cerpen lagi. Cerpen-cerpen tersebut adalah Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, Corat-Coret di Toilet, Teman Kencan, Rayuan Dusta untuk Marietje, Hikayat Si Orang Gila, Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, Siapa Kirim Aku Bunga?, Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, Kisah dari Seorang Kawan, Dewi Amor, serta Kandang Babi.

Suara Rakyat di Coretan Toilet Umum

Corat-coret di Toilet, satu dari 12 cerpen yang ada dalam buku, dijadikan judul dan pasti memiliki daya tarik tersendiri. Hal sesederhana seperti coretan di toilet saja dapat menjelma menjadi cerpen yang sederhana, sangat dekat dengan kehidupan kita, namun juga sekaligus menjadi catatan jejak kemanusiaan dan permasalahan sosial di dalamnya.

Toilet yang ada dalam cerita adalah toilet yang ada di lingkungan kampus. Toilet yang biasa digunakan mahasiswa dan mahasiswi, selain untuk melaksanakan hajat buang air kecil dan buang air besar, juga menjadi lahan untuk menuliskan suara hati mereka. Tentu saja, melalui coretan-coretan aspirasi di balik bilik kala mengisi kegiatan selain buang air, tentu saja.

ilustrasi toilet umum yang awalnya bersih (image from www.edunews.id)

Semua tentu berawal dari toilet yang bersih, yang dindingnya baru saja dicat, dan pengunjung pertama yang penuh ide (atau sangat iseng) untuk membuat vandalisi pertama. Dengan spidol yang ada di dalam tasnya, ia memulai dengan tulisan pertama

“Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!”

Lama berselang, satu dua tiga dan seluruh pengunjung lain ikut memberi suara. Mereka mulai mengisi bagian-bagian kosong dengan tanggapan atas tulisan pertama, bahkan sampai ngalor ngidul ke arah percakapan soal janji temu, candaan konyol, dan masih banyak tulisan lain. Goresan itu dibuat dari berbagai ujung pena, spidol, lipstik, bahkan bara puntung rokok, darah, dan apa pun bahan yang dapat digunakan untuk menulis. Bagi mereka yang masuk ke dalam bilik toilet tersebut, rasanya sangat perlu untuk menuliskan barang satu dua kata di tembok dan di balik pintu yang kini sudah penuh dengan coretan.

ilustrasi coretan di toilet (image from http://www.sofabedinoac.com)

Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Eka dalam cerpen ini sangat sederhana, hanya tentang kegiatan di balik bilik toilet saja. Akan tetapi, dengan membaca ini tentu kita jadi mengerti bahwa semua coretan itu, menjadi catatan tersendiri, catatan tentang kehidupan yang diabadikan melalui tulisan.

Catatan ini dibuatnya sekitar tahun 1999 sampai tahun 2000. Saat itu, barangkali belum ada wadah untuk menulis aspirasi selain dinding toilet. Oleh karena itu, mudah saja misalnya bagi pemilik kampus untuk menghapus aspirasi mereka dengan mengecat ulang dinding toilet kemudian semua bersih kembali seperti sedia kala.

Akan tetapi, begitulah. Selalu saja ada yang memulai cerita. Alkisah, seberapa pun tulisan itu dihapus ada saja yang selalu memulai untuk menulis. Diceritakan bahwa ada sebuah tulisan yang lebih banyak mendapat tanggapan selain tulisan pertama, yakni

“Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet.”

Sebuah sindiran satir sebagai penutup cerita yang ditanggapi dengan berbagai tanggapan “aku juga” dari semua penghuni toilet.

Bacalah 11 cerpen lainnya dalam Corat-coret di Toilet, niscaya kamu akan merasakan bahwa apa yang sederhana dalam kehidupan bisa jadi begitu bermakna, terutama ketika dituliskan.

(N.B. Sedang ada diskon khusus untuk buku Corat-coret di Toilet dalam rangka Promo Bulan Bahasa cek di sini >> Promo Bulan Bahasa Indonesia Oktober 2017)

[Hanung W L/ Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Corat-Coret di Toilet: Jejak Tragedi Sosial dalam Cerpen