Selayaknya menonton sinetron atau serial TV, buku-buku kadang terlihat terlalu indah untuk jadi nyata. Hidup bahagia selama-lamanya, konflik ringan dengan penyelesaian semudah membalik telapak tangan, ah. Kadang pula, ada konflik yang terlihat terlalu sulit dan tak masuk akal. Begitu sengsara dan susahnya kehidupan, bisa diselesaikan dengan ibu peri atau mantra ajaib. Selesai semua perkara.

Akan jadi lebih menarik, nggak, sih, cerita-cerita yang masuk akal, betul-betul terasa nyata, tapi sebenarnya semua hanya fiksi belaka? Yang semacam ini, sih, sudah pasti Dan Brown jagonya! Kamu sudah baca belum semua seri perjalanan Robert Langdon?

dan broe

sampul buku karya Dan Brown versi bahasa Inggris (image from pinterest.com)

Sebenarnya, cerita-cerita yang dibuat dengan alur semacam ini sudah banyak jenisnya. Biasanya, buku semacam ini dapat dikategorikan sebagai sci-fi atau dapat juga tergolong buku-buku novel petualangan yang seru dan menegangkan.

Tulisan semacam ini tentu tidak dibuat dalam sehari seperti Bandung Bondowoso. Buku bertema sci-fi perlu melalui riset yang panjang dan mendalam mengetahui fakta-fakta terpendam, justru agar membuat fiksi yang ada di dalamnya tidak jadi sekadar bualan semata. Semakin baik fakta-fakta itu difiksikan, semakin sulit pembaca memisahkannya dari kenyataan. Seolah-olah, semua adalah fakta, padahal ini hanyalah fakta sastra.

Fakta Sastra: Kebenaran-kebenaran yang Dibangun dalam Buku Sastra

Mengutip pernyataan Maman S. Mahayana, salah satu penikmat sekaligus orang yang tergolong ahli dalam sastra Indonesia, karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra merupakan dokumen yang mencatat realitas masa lalu menurut pengamatan, pencermatan dan pemikiran subjektif pengarang. Dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Umar Junus (1989: 72-75) pengertian karya sastra sebagai refleksi realitas, tidak sekadar melaporkan realitas itu sendiri, namun melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan demikian, realitas hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Di dalamnya termasuk juga realitas filsafat, psikologi dan sosial (Ann Jefferson dan David Robey, 1982: 15?16) atau catatan mengenai realitas yang oleh Jan van Luxemburg, dkk. (1989: 11-12) disebut teks referensial.

Serius sekali ya pernyataan di atas? Tetapi, itulah kenyataannya, bahwa sebaik-baiknya imajinasi yang kita punya, semua tentu berasal dari pengalaman nyata yang kita alami, dan semua dapat dituangkan dalam berbagai model tulisan, seperti sci-fi. Nah, ketika fakta-fakta dalam dunia nyata yang merupakan bagian dari pengalaman pengarang bercampur dalam tulisan sastra, saat itulah fakta di dalamnya disebut fakta sastra.

Hati-hati membedakan, ya. Fakta sastra itu berbeda dengan fakta lain, fakta agama dan fakta hukum misalnya. Fakta agama dan fakta hukum bersifat jelas dan mutlak, sedangkan fakta sastra, belum tentu demikian. Fakta sastra dapat dibuat oleh pengarang cerita dengan sebagaimana yang dia inginkan, sebebas yang ia mau. Dalam dunia persajakan misalnya, kebebasan ini disebut licentia poetica. Mengapa boleh dinyatakan begitu?

Hal ini juga berkenaan dengan sastra yang juga bebas diinterpretasikan dengan cara apa pun oleh pembaca. Penulis boleh menulis dengan sesuka hati, pembaca boleh memaknai sesuai pengetahuan diri. Tidak ada kewajiban yang mengikat dalam sastra, begitu pula dengan fakta sastra. Di sisi lain, fakta agama dan fakta hukum memiliki keterikatan tertentu. Mudahnya barangkali, fakta agama dan fakta hukum sifatnya vertikal, ada hubungan kewajiban dan hak dengan yang posisinya di atas, sedangkan fakta sastra boleh saja bersifat horizontal karena posisi penulis dan pembaca punya hak yang sama: untuk menginterpretasi karya dengan sebebas-bebasnya.

Dan Brown dan Kepandaiannya dalam Memfiksikan Fakta

Ketika buku The Da Vinci Code pertama kali muncul, dunia seperti tergoncang. Sebuah mahakarya dari Dan Brown telah lahir ke dunia. Tulisan yang mencampurkan sejarah, fiksi, agama, dan ilmu pengetahuan sekaligus membuat pembacanya sempat berpikir, jangan-jangan apa yang Dan Brown tulis adalah kenyataan yang selama ini tidak terungkap? Hal ini bukan tidak mungkin karena Brown betul-betul membuat kisah yang dijalani Robert Langdon terasa begitu nyata.

dan-brown

Dan Brown (image from www.famousauthors.org)

Dalam sekejap, buku Da Vinci Code menjadi best seller di berbagai belahan dunia. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 34 bahasa dan dibaca hampir oleh seluruh warga negara di dunia. Begitu kontroversialnya buku ini membuat Dan Brown semakin menggebu untuk melanjutkan serinya.

Sampai saat ini, tercatat sudah ada Angels and Demons, Inferno, Desception Point, The Lost Symbol, dan yang terbaru Origin yang menemani perjalanan seru Robet Langdon menuju fakta-fakta yang menggeparkan dunia. Fakta yang membuat pembacanya bertanya-tanya, betulkan hanya fakta sastra ataukah ini justru fakta yang sebenarnya?

Kamu hanya akan mampu menjawabnya ketika membacanya sendiri.

(artikel ini dikutip dari berbagai sumber dengan penyesuaian)

[Hanung W L/ Copywriter Mizanstore]

Bagikan ke Sekitarmu!
Karya-karya Dan Brown: Fakta atau Fiksi?