sumber: www.makers.com

 

Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu pahlawan di Indonesia yang memperjuangkan emansipasi wanita. Terbukti dari tulisan-tulisan yang selalu dikirimkan kepada sahabat penannya, Rosa Abandanon yang kemudian dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, berisi tentang pemikiran-pemikiran Kartini, bagaimana kedudukan wanita, pendidikan hingga hak-hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 

Kartini dianggap sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak perempuan kala itu karena ia mendirikan sekolah untuk perempuan sehingga mereka yang tidak berasal dari golongan bangsawan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.

Melihat kisah Kartini saat itu, betapa beruntungnya saat ini wanita dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin, bisa bebas berkarier dan bekerja bahkan menjadi pemimpin di suatu organisasi. Sampai akhirnya muncul apa yang dinakaman dengan kesetaraan gender. Persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Wanita berhak melakukan hal yang sama dengan laki-laki. 

Namun, kesetaraan gender saat ini biasanya dikaitkan dengan unsur feminisme. Apa itu feminisme? Menurut ensiklopedia Merriam-Webster,  feminisme adalah kesetaraan politik, ekonomi, dan sosial di antara orang dengan berbagai jenis kelamin. Kamus ini juga punya arti kedua feminisme: aktivitas terencana yang mengatasnamakan hak-hak dan kepentingan perempuan. 

Hal ini yang terus menjadi perdebatan hingga memunculkan banyak pro dan kontra terhadap feminisme. Banyak yang beranggapan bahwa feminisme mengubah kodratnya seorang wanita. Dikutip dari tirto.id bahkan ada sekelompok orang/organisasi yang menolak keras paham ini bahkan sampai membuat kampanye di media sosial. Mereka yang menolak biasanya karena menganggap feminisme berbenturan dengan nilai-nilai agama, khususnya Islam. Karena feminisme dianggap mengubah kodratnya seorang wanita, seperti tidak menikah, melahirkan, mengurus suami, dan sebagainya.  

Fenomena feminisme tersebut mirip dengan kasus kesetaraan gender dan stereotip agama dalam buku Politik Kesetaraan yang ditulis Heiner Bielefeldt, bahwa hubungan antara agama dan budaya secara umum memiliki banyak aspek, baik di dalam suatu tradisi keagamaan maupun antar-agama. Lebih jauh, pembedaan antara agama dengan budaya secara konseptual telah menjadi alat metodologis penting bagi para pembaru, termasuk para teolog feminis, yang bekerja dalam konteks agama atau keyakinan yang berbeda-beda untuk mendefinisikan ulang batas-batas antara agama dan budaya. 

Heiner Bielefeldt juga menjelaskan, bagaimana kesetaraan gender, kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Maksudnya adalah kaitan antara KBB dan kesetaraan gender memperlihatkan banyak sisi yang menjadi perdebatan baik di dalam ranah politik, hukum, teologi, maupun filosofis. Artinya, keragaman umat manusia perlu dipertimbangkan secara serius, termasuk di dalamnya kesadaran mengenai pluralisme, baik antarorganisasi ataupun suatu kelompok agama. 

Jadi, balik lagi ke individu masing-masing, bagaimana kalian menanggapi gerakan feminisme ini. Apakah baik atau tidak? 

Awita Ekasari/Mizanstore

 

Bagikan ke Sekitarmu!
Bagaimana Pro dan Kontra Feminisme?
Tag pada: